Kata yang paling sering disandingkan dengan “merdeka” adalah “hak”. Orang yang merdeka berhak untuk bicara. Orang yang merdeka berhak untuk menentukan pilihannya, berhak melakukan apa yang diinginkannya, berhak mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Namun sangat jarang kata “merdeka” disandingkan dengan kata “tanggung-jawab”.
Ketika masih SMA, aku sering merasa kesal karena merasa tidak mendapatkan kebebasan seperti yang dimiliki teman-temanku. Kalau mau nonton atau jalan sama teman-teman, harus jelas pergi dengan siapa, kegiatannya apa saja, dan pulangnya bagaimana. Kalau sudah malam, tidak boleh naik kendaraan umum (taksi sekalipun); berdua saja tidak boleh apalagi sendiri. Papi akan menjemputku dimanapun aku saat itu berada. Sebagai abege, kesal kan yaa... kan pengen kaya’ teman-teman yang kaya’nya “dewasa” banget gitu... bawa kendaraan sendiri, atau naik taksi, atau apalah, pokoknya selain di antar jemput. Paling “sedih”nya lagi, suatu kali teman-teman ku pada bolos bimbel, terus pergi main. Aku kan pengen ikut juga. Tapi kalo sampai bolos bimbel, nanti kan bakal ketahuan. Pertama karena Papi menjemputku setiap sore, dan kedua, karena bimbel ku mengirimkan raport bulanan ke rumah.
Sedemikian “tidak merdeka”nya aku, sampai-sampai, ketika aku dan teman sebangku ku menetapkan kampus impian kami, dengan hati-hati dia bertanya, “Kau yakin diizinkan merantau ke Pulau Jawa??”
Berbanding terbalik dengan urusan “jalan sama teman-teman”, untuk urusan pendidikan (dan kemudian pekerjaan), Papi dan Mami memberikan kemerdekaan seluas-luasnya kepada anak-anaknya. Terserah mau kuliah di mana, kota mana, jurusan apa. Sama hal nya untuk urusan pekerjaan, terserah mau kerja di mana, dari Sabang sampe Merauke, Kutub Utara sampai Kutub Selatan.
Ketika mulai merantau, di situlah aku mulai merasakan “merdeka” yang kuidam-idamkan. Bebas mau jalan ke mall, bebas mau nonton ke bioskop, bebas perginya mau bareng siapa pun, dan bebas pulang jam berapa saja yang aku mau. Dengan catatan, selama orang tua tidak tahu hihihi
Mula-mula rasanya luar biasa. Seru! Bagaikan serial TV remaja Amerika. Tapi lama-lama aku mulai terhanyut. Saking merdekanya, aku lebih banyak memilih untuk menghabiskan waktu dengan bersenang-senang dan bermalas-malasan. Kemudian satu persatu teman-teman menyelesaikan masa perkuliahan mereka, sementara aku masih mengulang beberapa mata kuliah. Sampai peringatan itu datang, bahwa aku sudah mendekati batas akhir masa perkuliahan.
Di situlah aku belajar, in a hard way, bahwa merdeka itu artinya bertanggung jawab. Aku harus memperbaiki kesalahan yang kulakukan selama masa awal kemerdekaan itu. Dirusak sendiri, ya diperbaikinya juga sendiri. Sendiri dalam arti tidak pakai jalan pintas, atau koneksi sana sini, selain berusaha dan mengejar ketertinggalan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Puji Tuhan, dengan doa, usaha, dan pertolongan banyak orang, akhirnya aku bisa menyelesaikan kuliah dengan baik.
Kemerdekaan itu berbeda bagi setiap orang. Buat ku, merdeka adalah bebas jalan-jalan sama teman kapan saja kemana saja dengan siapa saja. Tapi buat seorang sepupuku, merdeka itu adalah bebas mau kuliah di kota mana saja, karena ketika itu dia tidak diizinkan merantau, sehingga ketika lulus kuliah dia berusaha keras mendapatkan pekerjaan di luar kota. (Lucunya, sepupu ku ini malah sangat ‘merdeka’ untuk urusan gaul dan jalan sama teman-teman.)
Kemerdekaan itu dinamis dan ekskalatif. Hal yang kita anggap merdeka di satu masa, tiba-tiba menjadi tidak seberapa merdeka. Kita terus menerus menginginkan yang lebih dan lebih lagi.
Kemerdekaan itu terbatas. Batasannya adalah ketika kemerdekaan kita bertemu dengan kemerdekaan orang lain. Seperti sebuah lingkaran yang saling bersinggungan. Semakin besar kemerdekaan yang kita tuntut, maka semakin besar pula tanggung jawab untuk memastikan agar kemerdekaan kita tidak menggangu kemerdekaan orang lain.
Apapun bentuknya, kemerdekaan yang kita miliki saat ini haruslah kita syukuri, dengan selalu berusaha untuk menjalankannya dengan bertanggung jawab.
No comments:
Post a Comment