Sunday, January 7, 2024

Odading si Bolang Baling

Malam minggu malam yang panjang. Iya benar... apalagi kalau gak kemana-mana, dan menghabiskan waktu dengan nonton film romcom di Netflix, disambung drama Korea teranyar di Prime Video, sambil ngemil kacang bali kiriman Big Ompung dari Medan. 

Belakangan ini mager maksimal kalau sudah menyangkut urusan yang menuntut usaha untuk keluar dari unit. Sama urusan yang di dalam unit aja mager, apalagi di luar, cuy! Cuaca yang gak kondusif adalah salah satu biang kerok kemageran ini. Sejak akhir Desember, Jakarta mulai akrab dengan mendung, hujan, dan, unfortunately, banjir. Menambah keriuhan ibukota yang sudah akrab sangat dengan polusi, cuaca pun ikutan menggalau. Mendung yang tidak berarti hujan, dan panas yang mendadak hujan. Galau merana bagai remaja putus cinta. 

Namun hari ini, mau gak mau harus menembus kemacetan ibukota demi kemaslahatan diri sendiri. Urusan tidak akan beres sendiri toh? 

Kelar berurusan, menjelang sore aku kembali ke tempat tinggal dengan kendaraan umum. Turunnya di halte dekat kompleks. Langit mulai gelap. Mendung. Angin semilir dingin. Kalau sudah begini, paling enak ngapain?? Yak benaarrr.. makan gorengan! 

Menjelang sore, biasanya satu persatu pedagang kaki lima sekitaran kompleks mulai membuka lapak. Jenis makanan dan dagangan yang ditawarkan cukup lengkap. Mulai gorengan sampai dimsum, bakso bakar sampai sate padang, bahkan mille crepes juga ada, lho! Hmm... mungkin nanti aku bikin tulisan tentang makanan kaki lima pinggir kompleks deh. Bisa jadi berapa artikel tuuh...

Kembali ke niat makan gorengan. 

Salah satu menu gorengan yang ditawarkan, sekaligus menjadi favoritku, adalah odading. Kue asin manis ini biasanya didagangkan sepaket dengan rekan-rekan sejawatnya, seperti cakwe, donat, dan onde-onde. 

Menurut sebuah sumber, odading sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Alkisah seorang anak kecil Belanda merengek minta dibelikan roti goreng yang tidak bernama. Ibunya penasaran kue apa yang diminta si anak. Lalu si ibu memanggil seorang penjaja kue keliling. Melihat roti goreng yang menjadi sumber rengekan si anak, si ibu heran lalu berkata, "O, dat ding?" yang artinya "O, benda itu?". Si penjaja kue menceritakan kejadian ini kepada orang-orang di kampung, bahwa kue yang tak bernama itu disebut odading oleh orang Belanda yang membeli dagangannya. Istilah itu menjadi populer dan terus melekat sampai sekarang. 

Kue ini sebenarnya sudah kukenal sejak aku kecil, namun di Medan sebutannya bukan odading. Istilah odading sendiri aku kenal ketika tinggal di Bandung. Di Medan kue ini disebut dengan kue bohong. Ketika kutanya, kata Mami disebut begitu karena bagian tengahnya kosong, padahal bentuknya yang besar mengesankan di dalam ada isiannya. Kue hoax dong ya... hihihi


Kue bohong, cakwe, dan rekan-rekannya (sumber: Facebook Makanmana)


Ternyata odading ini memang memiliki banyak sebutan. Disinyalir, aslinya kue ini aslinya bernama han cim piang atau han chim peng, dibawa oleh keturunan Tionghoa sampai ke Indonesia. Kalau di Medan disebut kue bohong, maka di Jakarta disebut kue bantal. Geser ke Yogyakarta, namanya ganti menjadi galundeng. Melipir dikit ke Solo, namanya ganti menjadi gembukan. Sampai di Semarang, eh namanya ganti lagi menjadi bolang-baling, yang diduga berasal dari proses penggorengan kue ini yang dilakukan dengan membolak-balik adonan. Banyak kali sebutannya, ya... KTP nya pasti nembak! 😛

Sambil berjalan menuju gerbang kompleks, mataku memindai cepat deretan lapak dagangan. Yay... ternyata lapak odading favorit sudah mulai dagang. Istimewanya si odading ini, adonannya diolah di tempat. Jadi kita bisa nontonin kang odadingnya bikin adonan, memotong-motong, mengisi, lalu menggoreng sampai jadi odading. (Ketika atraksi tukang odading menjadi menarik, disitulah kau menyadari betapa recehnya dirimu.)

Lapak odading ini sistemnya touch screen, gaes... alias kita tinggal menyentuh kaca gerobak si abang sambil menunjuk varian yang kita mau. Aku memilih odading kosongan, isi coklat, dan isi kacang hijau. Aromanya sungguh menggoda karena fresh from the wajan. Mendung dingin gini, pasti enak banget disantap dengan kopi panas. 

Mungkin bahan dasarnya sama, tapi odading yang ini tidak berbohong. Well... setidaknya tidak semua. Ada yang bohong karena kosong, tapi ada juga yang jujur karena ada isiannya. Etapi isinya dikit sih... 😜


Kue bohong isi ketan, kudapan khas Medan (sumber: Betamakan)


Walaupun tidak ada yang pakai isian, tapi ada satu varian kue bohong Medan yang tidak kutemukan di Jakarta. Kalau di Medan, ada varian kue bohong yang diisi ketan. Bukan diisikan kedalamnya sebenarnya. Mungkin lebih tepat olahan ketan dengan tepian adonan kue bohong. Ketannya terasa krenyes-krenyes karena ikut digoreng. Ini. Enak. Pakai. Banget! 

Thursday, January 4, 2024

Hidangan Tahun Baru ala Ompung Boru

SELAMAT TAHUN BARU 2024!!

Akhirnya... 
Setelah tidur musim dingin nan berkepanjangan, akhirnya hari ini blog ini tahun baruan juga... huhuy!

Aku sudah mulai ngeblog dari sejak jaman masih kuliah, sudah beberapa presiden yang lalu. Berganti alamat blog beberapa kali. Temanya sesuai mood saja, sesuai apa yang lagi terpikir demi mengejar setoran hahaha Namanya juga penulis aliran moodis 😎

Kalau dipikir-pikir, sepertinya aku mulai (semakin) jarang menulis setelah mulai mengecap dunia per-podcast-an. Podcast terasa lebih simple dan ringkes. Tinggal mangap. 

Tahun baru adalah momen untuk membuka lembaran baru, memulai babak baru. Oleh karena itu, di awal tahun ini aku mengambil langkah iman untuk kembali menulis. Semoga bisa bertahan untuk terus melangkah ya, dwi....

Pergantian tahun dirayakan dengan berbagai tradisi. Pada umumnya tradisi ini erat kaitannya dengan berkumpul. Berkumpul dengan keluarga. Berkumpul dengan orang-orang di pusat kota, memandang langit bersama. 

Aku sendiri tumbuh besar dengan sebuah tradisi pergantian tahun yang sepertinya cukup umum di keluarga Batak. Setiap tanggal 31 Desember malam, keluarga kami akan berkumpul bersama keluarga besar dari Papi di rumah Ompung. Papi adalah anak tertua dari tujuh bersaudara. Jadi kalau ngumpul, rameeee dah! 

Kami akan merapat ke rumah Ompung sekitar pukul 10 malam. Sampai di sana, Ompung Boru (Nenek) sudah menyiapkan makanan dan minuman untuk dinikmati bersama. Walaupun sudah pasti lagi mengantuk berat, mau tidak mau aku harus mengikuti komando Mami untuk ikut bantuin Ompung beberes dan menyiapkan ini itu.  

Hidangan di rumah Ompung selalu sedap. Ompung Mamak, panggilan aku dan abangku untuk nenek kami, memang jago masak. Segala-gala bisa dimasak Ompung Mamak. Khas ibu jaman dulu yang punya anak banyak, sudah pasti kreatif tak terperi. Setiap ke rumah Ompung, kami pasti menemukan makanan kecil atau kue-kue olahan Ompung Mamak, mulai dari rengginang, kerupuk udang, sampai godok-godok (ini pisang kematengan terus diolah sama tepung terus digoreng). Belum lagi berbagai menu masakan khas Batak. Just name it, she'd cooked it!

Nah, setiap momen pergantian tahun, ada satu hidangan yang selalu ada. 
Ompung akan memasak ketupat lengkap dengan rendang sapi.


Ketupat Ketan dan Rendang. Dynamite Duo! (sumber: bomanta.com)


Ketupat di Medan berbeda dengan ketupat di Jakarta atau Bandung. Di Medan, yang namanya ketupat terbuat dari ketan atau pulut kalo kata orang Medan. Hal ini baru kuketahui in a hard way ketika aku pindah ke Bandung untuk kuliah. Aku masih sangat ingat semangatnya aku ketika mendengar temanku menyediakan ketupat di rumahnya, tapi lebih ingat lagi sama kekecewaanku ketika tahu ketupatnya bukan dari ketan. Dalam hati aku mengesal, "Ini mah lontong, bukan ketupat, woi!" Hiks...

Ketupat Medan terbuat dari ketan, yang dimasak dengan santan yang kental, sehingga rasanya menjadi perpaduan antara asin, manis, dan gurih. Lihat saja resepnya (yang akan kusertakan di akhir tulisan); 1 liter kentan dimasak dengan santan dari 2 butir kelapa yang cukup tua. Kalau mau lebih mantep lagi, sebelum diolah ketan direndam dulu dalam santan dari 1 butir kelapa. Sudah, buang saja kalkulator kalori itu, juragan! 

Ketupat ketan di Medan relatif mudah ditemukan. Tidak perlu menunggu lebaran atau tahun baru, ketupat bisa ditemukan di lapak jajanan pasar.

Ketupat biasanya dikonsumsi dengan rendang sapi, tapi sebenarnya ketupat tetap enak tanpa tambahan lauk apapun.

Kembali ke kisah tahun baru di rumah Ompung. 

Menjelang pukul 12 malam, Ompung akan memulai ibadah keluarga. Ketika ibadah masih berlangsung, waktu akan berganti ditandai dengan dentang lonceng gereja yang tak jauh dari rumah Ompung. Ini sebagai perlambang bahwa kami  mengakhiri tahun yang lama dan mengawali tahun yang baru dengan penyertaan Tuhan. 

Tidak seperti keluarga Batak pada umumnya, kami tidak punya acara curhat atau 'mandokhata', yang ada adalah makan ketupat dan rendang bersama!

Tahun baru kali ini, walaupun tidak pulang ke Medan dan sendiri saja di ibukota, aku tetap melalui pergantian tahun dengan tradisi doa bersama. Tentu tidak dengan keluarga besar Tobing, tapi dengan Papi dan Mami, thanks to technology.  

Siapa tahu ada yang penasaran sama ketupat ketan ala Medan ini, berikut aku lampirkan resepnya. Tentu saja resep ini bukan hasil karyaku sendiri, tetapi aku ambil dari sini nih. Bahan-bahannya tidak banyak, cara memasaknya pun gampil. 

Bahan: 
1 ltr ketan putih
3 butir kelapa (pilih yang agak tua)
30 sarang ketupat 
secukupnya garam 
2 lbr daun pandan

  1. Cara membuat:
    1. Cuci bersih ketan dan rendam dengan air santan dari 1 butir kelapa kurang lebih 3 jam 
    2. Tiriskan beras ketan dan isikan ke sarang ketupat sampai penuh 3/4 
    3. Siapkan air santan dari 2 butir kelapa dalam 1 panci (ini kurang lebih 4 liter lah  ya...) dan taburi garam secukupnya. Masukan daun pandan yang sudah diikat simpul
    4. Setelah smua ketupat terisi masukkan ke dalam panci hingga terendam, masak hingga matang
    5. Sambil menunggu matang, tes rasa dari air santan yang belum menyusut saat direbus
    6. Ketupat yang sudah matang bisa dilihat dari bentuknya yang memadat.
    7. Kalau sudah matang, jangan lupa matikan api kompor, dan biarkan ketupat mendingin. 

Ingin mencoba dan memulai tradisi baru? Yuk!!