Monday, August 31, 2020

Ahjussi Idola

Membahas tentang budaya Korea Selatan ini seakan tidak ada habisnya. Bukan aku tak cinta sama negara dan budaya sendiri. Indonesia tetap tanah air beta. Ini hanya masalah selera. Setiap kita suka akan sesuatu, pasti kita akan mengoprek mengulas mengupas tuntas sesuatu itu, yes no?


Pada postingan sebelumnya aku menulis tentang Kim Mi Kyung, ahjumma idola yang dijuluki The Empress oleh publik Korea Selatan. Tidak lengkap bahas ahjumma kalau belum bahas ahjussi juga. 


“Ahjussi” merupakan panggilan kekerabatan dalam bahasa Korea yang artinya paman atau Oom. Secara umum, ini adalah panggilan kepada laki-laki yang lebih tua, yang segenerasi dengan orangtua kita. Salah satu ahjussi yang menjadi favoritku dalam drama Korea adalah Son Hyun Joo


Ahjussi Idola, Son Hyun Joo - sumber: IDNtimes)

Pertama sekali aku menonton kemampuan akting ahjussi yang satu ini adalah ketika ia bermain dalam drama “Criminal Minds” (2017), yang merupakan remake dari serial tv Amerika yang berjudul sama. Dalam drama ini berperan sebagai Kang Ki Hyung, team leader dari sekelompok profiler di NCI (National Criminal Investigation). Walaupun Ki Hyung tampak dingin dan tanpa ekspresi, namun sesungguhnya ia sangat peduli pada setiap anggota tim yang dipimpinnya. Kalau dalam versi Amerikanya, Ki Hyung ini serupa Aaron Hotchner (Thomas Gibson). Berhubung aku sangat suka dengan “Criminal Minds” versi Amerika, maka sosok Aaron Hotchner cukup melekat di benakku. Dan menurutku, Son Hyun Joo berhasil memerankan karakter “Aaron Hotchner” dengan sangat baik.


Son Hyun Joo juga bermain dalam drama “Itaewon Class” (2020), dimana ia berperan sebagai Park Seung Yeol, ayah dari Park Sae Ro Yi (Park Seo Joon). Walaupun Park Seung Yeol hanya muncul dalam tiga episode, tapi karakter ini meninggalkan kesan yang cukup dalam sebagai ayah yang sangat mencintai keluarganya. Scene ketika Park Seo Ro Yi bertemu dengan ayahnya di dalam mimpi berhasil membuat aku menonton dengan layar laptop yang tampak kabur. 


Berperan sebagai ayah Park Seo Joon dalam drama "Itaewon Class" (2020)
sumber: idntimes


Sejak memulai debutnya di tahun 1990, Son Hyun Joo sudah bermain dalam lebih dari 50 judul film dan drama. Selain “Criminal Minds” (2017) dan Itaweon Class” (2020), Son Hyun Joo juga bermain dalam drama “Signal” (2016) dan “Justice” (2019). Diantara banyak film dan drama tersebut, dua yang paling dikenal dan menjadi hits, dimana Son Hyun Joo menjadi pemeran utama, adalah drama “The Chaser” (2012) dan film “Hide and Seek” (2013). “The Chaser” (2012) sendiri memenangkan dua penghargaan Grand Prize (Daesang) dalam dua ajang perfilman di Korea Selatan, dan Son Hyun Joo memenangkan penghargaan sebagai aktor terbaik atas perannya dalam drama tersebut. 


Son Hyun Joo tidak hanya memenangkan berbagai penghargaan di tingkat nasional, namun juga di ajang perfilman internasional. Pada tahun 2017, Son Hyun Joo memenangkan penghargaan sebagai aktor terbaik dalam 39th Moscow International Film Festival atas perannya dalam film “Ordinary Person” (2017). 


Poster drama "The Good Detective" (2020)
sumber: dailyasia.com


Drama terbarunya adalah “The Good Detective” (2020), dimana ia berperan sebagai Kang Do Chang, seorang polisi detektif senior. Dalam drama ini, sekali lagi Son Hyun Joo membuktikan kepiawaiannya berakting, memerankan Kang Do Chang yang menjadi panutan dan mentor bagi para detektif junior, walaupun secara pangkat, dia masih setara bahkan di bawah mereka. Kang Do Chang menjalankan tugasnya sebagai polisi dengan integritas yang tinggi, dan memperlakukan setiap tersangka dengan baik. Falsafahnya “Hate the sin, not the sinners”.





Saturday, August 29, 2020

Pengaruh Gen Terhadap Kesehatan

 Selama masa pandemi ini, sering sekali diadakan webinar, baik yang gratis maupun berbayar. Webinar ini menggantikan seminar, yang sebelumnya diadakan secara tatap muka langsung. Topiknya pun bermacam-macam, mulai dari kesehatan, hukum, manajemen, wirausaha, sampai kelas memasak dan make-up. Dari antara banyak webinar itu, yang paling sering aku ikuti adalah topik tentang kesehatan dan manajemen. Apalagi seorang sepupuku, Christin, adalah dokter spesialis gizi yang kerap menjadi narasumber. Christin selalu membagikan informasi tentang webinar dimana dia terlibat melalui WA Grup Keluarga Tobing. Semua webinar yang dibagikan Christin tidak hanya gratis, bahkan kadang-kadang ada hadiah bagi peserta.

Sekali waktu, Christin membagikan ke WAG tentang webinar dengan topik “How To Treat Heart Disease Based On Gene”. Webinar ini diadakan oleh RS. Jantung Diagram, bekerja sama dengan KALBE dan nutriGen-Me. Topik ini cukup menarik, sehingga cukup banyak dari keluarga kami yang mengikutinya. Apalagi dua orang Uda dan Amangboruku sudah pernah mendapat serangan jantung. Mereka sudah pasang ring dan bypass. Puji Tuhan, sampai saat ini mereka baik-baik saja.


Sebagaimana topiknya, webinar ini membahas seputar penyakit jantung dan terapi yang tepat sehubungan dengan gen yang dimiliki oleh masing-masing orang. Wah, aku baru tahu, ternyata Christin sudah bersertifikat untuk membaca hasil pemeriksaan gen. Hebat euy! 


Sebagai awam, kita sering bertanya-tanya. Kenapa ya kalau aku minum kopi, padahal sedikiiit saja, tapi jantung udah deg-degan gak karuan? Padahal, ada orang yang minum kopi bergelas-gelas, hidupnya santai aja tuh. Seperti tidak ada pengaruh sama sekali. Atau mungkin juga kita khawatir, ketika dari keluarga ayah ada bawaan sakit jantung, dan dari keluarga ibu bawaan diabetes, terus sebagai keturunannya, kita harus ottokee?


Dalam webinar ini Christin menjelaskan bahwa masing-masing orang memiliki penerimaan atau respon yang berbeda terhadap segala sesuatu yang masuk ke dalam tubuh. Hal itu tergantung gen yang dimiliki setiap orang. Tipe nya ada macam-macam. Sudah pasti aku tidak menghafalnya...hehehe Perbedaan tipe gen ini mempengaruhi bagaimana penerimaan kita terhadap sesuatu. 


Kita ambil saja satu contoh. Untuk menurunkan resiko serangan jantung, maka kita harus menurunkan kadar homosistein di dalam tubuh. Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan mengonsumsi folat. Nah, kemampuan menyerap folat ini bisa berbeda untuk tiap orang. Orang dengan tipe X apabila mengonsumsi makanan yang mengandung 400 mb folat, maka seluruh tubuhnya akan menyerap dan menggunakan. Namun orang dengan tipe Y, mungkin hanya mampu menyerap dan menggunakan 200 mg folat. Sehingga orang dengan tipe Y ini harus menemukan cara untuk menambah asupan folat yang diserap oleh tubuhnya, misalnya dengan menambah konsumsi makanan yang mengandung folat.


Hal yang sama juga dapat diaplikasikan pada penyerapan sodium dan berbagai vitamin. 


Masalahnya, sangat jarang kita yang tahu dengan jelas kita memiliki gen yang seperti apa dan apa pengaruhnya. Ternyata ada test nya lho. Harganya memang cukup mahal, harga promosi saja dibanderol 8 juta Rupiah. Namun, pemeriksaan genetik yang komprehensif ini dapat dipandang sebagai suatu investasi. Sebab, ternyata banyak sekali hal yang bisa kita antisipasi, apabila kita tahu tipe gen dan kromosom kita.


Dalam webinar tadi ada salah satu peserta yang menanyakan, apabila dari garis keturunan ayah dan ibu membawa turunan penyakit tertentu, apakah itu artinya keturunannya akan menderita penyakit tersebut? Jawabannya, belum tentu. Namun, karena ada faktor genetik tadi, resiko si anak/keturunan menderita penyakit tertentu tadi lebih besar dibandingkan mereka yang tidak memilikinya. Oleh sebab itu, si anak tersebut harus lebih banyak melakukan tindakan-tindakan pencegahan.


Mengikuti webinar ini, aku mencatat beberapa poin untuk menjadi pengingat. Pertama, kita harus mengenal tubuh kita dengan baik. Pemeriksaan genetik sudah jelas lebih akurat, namun tanpa itu pun, kita harus jeli mengenali reaksi diri kita terhadap sesuatu. Kedua, lebih baik mencegah daripada mengobati. Pencegahan terbaik adalah memiliki gaya hidup yang sehat dan teratur, baik jasmani maupun rohani.


Harus diakui aku sendiri masih jauh dari gaya hidup sehat ini. Masih suka makan sembarangan, jarang olahraga, dan sering tidur larut (seperti malam ini). Namun pastinya tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baik. Semangat!


Thursday, August 27, 2020

Rekaman Sendirian

 “...dan Dwi, kamu yang lead untuk bagian Alto ya… nanti kirim rekamannya, yang lain tinggal ikuti saja”


Aku yang sedari tadi hanya "passive mode ON” mendengarkan para anggota senior berpendapat dan berdebat sambil browsing Instagram, seketika tersadar dan kembali menjejak ke bumi. Ketika itu Immanuel Choir, paduan suara yang aku ikuti, sedang mengadakan sesi zoom untuk membahas rencana kami membuat sebuah bentuk sederhana “virtual choir”. Rencana ini muncul dari kerinduan setiap anggota untuk melayani melalui lagu pujian paduan suara. Semenjak akhir Maret, yaitu ketika ibadah tidak lagi diadakan di gedung-gedung gereja, otomatis kegiatan dan pelayan paduan suara gerejawi pun terhenti. 


“Virtual Choir” adalah penggabungan dan sinkronisasi dari beberapa rekaman orang per orang yang bernyanyi, yang didasarkan pada sebuah partitur yang sama, sehingga menjadi sebuah paduan suara. Sederhananya, setiap anggota paduan suara membuat rekaman masing-masing menyanyikan bagian mereka (Sopran - Alto - Tenor - Bass), lalu rekaman ini digabungkan. 


Tantangan membuat virtual choir ini ada banyak. Pertama, anggota paduan suara tidak terbiasa bernyanyi sendirian. There’s a reason why only a few of us become soloists. Kedua, paduan suara (seharusnya) sangat tergantung pada seorang conductor atau pemimpin paduan suara. Dia lah yang memegang kemudi, menentukan apakah kita “berjalan” dengan cepat atau lambat, dengan lembut atau keras, dengan berapi-api atau menghiba. Jadi tidak mudah ketika kita harus bernyanyi tanpa komando dan hanya mengandalkan iringan musik. 


Ketiga, masalah teknis. Idealnya kita membutuhkan dua gadget dan satu headset. Gadget pertama untuk memainkan musik, yang kita dengarkan dengan headset, dan gadget kedua untuk merekam kita bernyanyi. Belum lagi setiap gadget punya kualitas rekaman yang berbeda-beda. Belum lagi demam panggung (walau sebenarnya tanpa panggung dan penonton), grogi, dan sebagainya. Belum lagi, setiap kali salah, kita harus mengulang rekaman mulai dari awal. Dan itu membuat aku baru ingat harus mengosongkan sebagian besar memori handphone-ku. 


Aku pun mulai mempelajari lagu “Panis Angelicus” yang akan kami bawakan. Ketika di Medan, aku sudah pernah membawakan lagu ini bersama Paduan Suara di gerejaku. Ketika itu kami menyanyikannya dalam ibadah Paskah dan dalam bahasa Latin. Butuh latihan beberapa minggu untuk menghafal liriknya. Kalau tidak dihafal, atau setidaknya mampu mengucapkannya dengan benar, maka kita tidak akan bisa konsentrasi pada komando dari conductor karena sibuk memelototi partitur untuk membaca liriknya. 


Kali ini, Immanuel Choir akan membawakannya dalam bahasa Batak. Buatku, membawakan lagu paduan suara dalam bahasa Batak itu hampir sama tingkat kesulitannya dengan bahasa Latin. Bahasa Batak memiliki pengucapan yang khas, tidak selalu sama dengan penulisannya. Selain harus kembali belajar mengucapkan dan menghafalkan liriknya, aku juga masih harus belajar aransemen, yang sedikit berbeda dengan yang pernah aku nyanyikan. 


Aku mengenal betul kelemahanku bernyanyi. Selain nafas pendek dan pengucapan R yang tidak sempurna, kadang-kadang aku tidak tepat menyanyikan not tertentu. Misalnya, ‘la’ dibunyikan ‘so’, dan ‘do’ dibunyikan ‘di’. Karena itu, aku meminta bantuan seorang teman di Medan. Namanya Aprilia, biasa kami panggil Lia. Lia adalah pianis paduan suara kami di Medan. Aku mengirimkan partitur ke Lia, dan minta tolong Lia untuk memainkan notasi untuk suara Alto, sehingga aku bisa memastikan nada ku sudah tepat. 


Satu hal lagi yang kulakukan untuk menolong aku menyanyikan lagu ini adalah dengan mencari sejarah dan makna lagu “Panis Angelicus” ini. Pengertian akan sebuah lagu akan sangat membantu kita untuk menghayatinya, sehingga kita dapat menyuarakan pesan yang diinginkan oleh pembuat lagu tersebut. Dengan penghayatan yang tepat, orang yang mendengarkannya akan dapat merasakan makna lagu tersebut, meskipun tidak mengerti arti liriknya.    


Setelah mengumpulkan segenap bahan dan beberapa hari latihan, aku mulai merekam suaraku untuk bagian Alto. Cepat atau lambat toh harus direkam, jadi mari kita coba dulu lakukan satu kali. Lalu dua kali.


Ketika mendengarkan hasilnya…. well… let me just say.... that… apparently... listening to all those marvelous soloists and choir singing Panis Angelicus, over and over and over again, wouldn’t make you a better singer. Been there, am doing that!


Wednesday, August 26, 2020

Gelombang Hallyu di Hatiku

Aku mengenal drama Korea semenjak awal tahun 2000. Sebenarnya bukan spesifik menggemari drama Korea sih… lebih tepatnya ketika itu aku dan teman-teman kost di Bandung ikut gelombang trend “Meteor Garden” dengan F4 nya. Masih ingat ketika itu ikut daftar antrian meminjam CD Meteor Garden, milik kakak seorang teman, demi bisa menonton versi aslinya. Asli dalam arti tidak di sulih suara ke dalam bahasa Indonesia. 

Menyoal urusan sulih suara ini, menurutku tidak semua film enak ditonton atau didengarkan tidak dalam bahasa aslinya. Apalagi kalau suara aktor atau aktris nya tidak cocok dengan karakter tokoh yang diperankan suaranya. Rasanya janggal. Ada sih beberapa yang aku suka versi sulih suaranya, antara lain beberapa kartun Jepang seperti Doraemon dan Sailormoon, kartun Spongebob Squarepants, telenovela sampai tahun 2000an (seperti Betty La Fea, Alicia, Maria Belen). 

Khusus untuk telenovela Asia, mulai dari Jepang, Thailand, Korea, Mandarin, aku jauh lebih bisa menikmati bila menontonnya dalam bahasa asli. Tentu saja dengan terjemahan… Yasallam kalau gak pakai terjemahan. Sudah bisa dipastikan menontonnya mirip dengan anak kecil yang gak bisa baca terus sok pegang buku. Liat gambar doang hihihi


Ok kembali ke topik.


Di jaman itu, aku hanya menonton dua drama Korea secara lengkap, yaitu "Endless Love/Autumn in My Heart" (2000) dan (sepertinya) "Friends" (2002). Ada beberapa yang lain, seperti "Hotelier" (2001) dan "Winter Sonata" (2002), tetapi aku tidak menonton dengan lengkap. Ketika itu memang belum berminat saja mungkin ya…


Sebelum aku menyatakan ‘comeback’ ke dunia drakor, sebenarnya sebelumnya teman-temanku sudah sering banget membahas berbagai drama Korea. Kalau yang mendengar bahasan mereka tidak mengikuti drakor, pasti akan mengira mereka sedang membahas suatu kejadian yang nyata. Mungkin akan mengira mereka sedang menggunjingkan sepasang kekasih atau sebuah keluarga. Padahal itu lagi ngomongin drakor doang! Tapi waktu itu aku belum tertarik sama sekali. 


Akhir Februari 2019, tiba-tiba aku kepengin aja lagi nonton drakor. Benar-benar impulsif. Nanya ke bLub, temanku yang drakorian (terlihat nyata dari berbagai postingan di medsos). Mula-mula, sarannya adalah “Jangan dicoba, ntar candu!” Namun aku yakinkan gak bakalan candu. Dan benar saja sih, sampai sekarang aku masih pada level sangat menikmati tapi tidak candu drakor. bLub menyarankan aku menonton “My Love From The Star” (2013-2014). Kemudian dilanjut lagi dengan judul-judul lainnya, sampai sekarang. Dan sejak saat itu pula, aku mulai ikut bergabung dengan teman-temanku ketika membahas drakor. 


Dua orang di antara teman-teman sesama drakorian ini, ternyata adalah penggemar KPop. Sebut saja mereka Matahari dan Bulan. Ketika membahas KPop, mereka lebih gegap gempita lagi. Wajah-wajah sumringah penuh ke-halu-an. Aku pun jadi penasaran lagi. Kuperhatikan medsos kedua temanku ini penuh dengan postingan tentang BTS. Ternyata mereka berdua adalah ARMY alias fans nya BTS. Mereka juga ikut acara-acara gathering ARMY setempat, nonton bareng ARMY, dan sejenisnya. Apalagi Bulan, modal banget jadi ARMY. Bulan sampai bela-belain menonton konser BTS di Singapore, dan punya koleksi album serta merchandise asli BTS. 


Sebenarnya keberadaan KPop di Indonesia udah dari kapan tahu. Boyband Super Junior sepertinya sudah langganan datang ke tanah air. Bahkan BTS sudah pernah konser di Jakarta tahun 2017. Tetapi ya memang aku gak berminat saja ketika itu.


Ada satu momen lagi yang bikin aku penasaran sama KPop. Ketika itu aku dan teman-temanku merayakan ulang tahun salah satu teman dengan karaokean. Lalu saat tiba gilirannya, Matahari menyanyikan lagu-lagu Blackpink. Fasih aja dia nyanyi dalam bahasa Korea, ditambah ngikutin koreo mereka. 


Maka aku mulai cari-cari tentang KPop, khususnya BTS, Blackpink, dan, lagi-lagi atas saran bLub, EXO. Selain nonton Music Videonya, aku juga menonton klip-klip buatan fans mereka. Setelah menonton banyak video dan mendengarkan lagu-lagu, dan juga membaca kisah-kisah tentang grup KPop, ternyata aku paling suka dengan BTS. Seperti yang kutuliskan pada postinganku yang ini, mereka adalah bukti nyata usaha dan kerja keras tidak mengkhianati hasil. 


Kesukaan ku pada KPop tidak terbatas pada boyband saja. Aku juga suka Zico dan beberapa penyanyi yang kukenal dari lagu mereka yang menjadi soundtrack drama, seperti Lee Chan Sol, Sondia, dan Kim Feel. 


Penikmat drakor, penyuka KPop, punya bias aktor maupun KPop idol, suka tiba-tiba ngomong “jinjja” dan “daebak”... Hmm, udah bisa dibilang resmi menjadi ‘korban’ hallyu wave dong yaa.... 𝩀


Tuesday, August 25, 2020

Misteri Pembunuhan Berantai -- Review Drama "Train" (2020)

Tema dunia paralel bukan hal yang baru di dunia perdrakoran. Tema dunia paralel ini sering disandingkan dengan tema time traveling. Menurutku ini sebenarnya dua hal yang berbeda. 

Time traveling artinya si tokoh “melompat” ke periode waktu yang berbeda, apakah ke masa lalu atau ke masa depan, namun pada “dunia” yang sama. Sementara dunia paralel mengisahkan dua (atau lebih) kehidupan yang berjalan bersamaan pada periode yang bersamaan juga. Jadi orang-orangnya sama, usia sama, nama sama, tetapi “dunia” nya berbeda. Kejadian, karakter, latar belakang, situasi, suasana, semua berbeda. Aku melihat “dunia paralel” ini seperti dunia alternatif dari kehidupan yang kita miliki saat ini, seperti pilihan berganda saja; plan A plan B dan plan C. 


Sebelumnya sudah ada beberapa drama yang juga menggunakan tema dunia paralel yang sama. Salah satunya, yang paling baru dan paling hits (walaupun ratingnya tidak hits #monmaap_para_bucin), adalah “The King: Eternal Monarch” (2020), yang merupakan drama pertama Lee Min Ho setelah selesai masa wajib militer. 


Drama “Train” (2020) ini adalah drama bertema dunia paralel pertama yang aku tonton lengkap seluruh episode mulai awal sampai final. Memang niat sih… Ceritanya sebagai usaha menyeimbangkan kebucinan dan ke-romance-junkie-an, maka aku memutuskan untuk menonton drama yang bergenre misteri-fantasi-thriller ini.


Poster Drama "Train" (2020) -- sumber: AsianWiki


Dikisahkan seorang detektif bernama Seo Do Won (Yoon Si Yoon) yang dikenal selalu berusaha keras memecahkan kasus-kasus yang ditugaskan kepadanya. Sekali ini, Do Won sedang memecahkan kasus pembunuhan berantai. Polisi menemukan empat jenazah yang sudah menjadi kerangka di lintasan kereta api di stasiun Mugyeong, yang sudah ditutup sejak tahun 2015. Kasus ini ternyata membuka kembali kasus pembunuhan, yang selama ini disangka Do Won pelakunya adalah ayahnya.  Namun karena ayahnya meninggal karena tabrak lari di malam yang sama dengan kejadian pembunuhan itu, maka polisi menganggap kasus itu selesai. 


Ketika menyelidiki kasus pembunuhan berantai tadi, Do Won menemukan beberapa keanehan. Misalnya, pada koper yang menjadi barang bukti, ditemukan sebuah selebaran undangan untuk menghadiri ibadah di sebuah gereja. Sementara gereja tersebut sudah tutup sejak tahun 2015. Lebih anehnya lagi, pendeta yang fotonya tercantum di selebaran tersebut, ketika dicari datanya, ternyata sudah meninggal karena sakit kanker. Padahal selebaran tersebut bertanggal beberapa hari yang lalu.  


Keanehan tidak berhenti sampai di situ. Beberapa hari kemudian polisi kembali menemukan jenazah dalam sebuah koper di lintasan kereta api stasiun Mugyeong. Dari penyelidikan, polisi menemukan identitas korban dan mengabarkan kejadian ini kepada nenek korban. Tidak disangka, beberapa hari kemudian, si korban datang ke kantor polisi, masih hidup dan segar bugar. Jadi siapa jenazah yang tersimpan di ruang otopsi itu?


Penyelidikan kasus ini telah membuat Do Won kehilangan Han Seo Kyung, wanita yang dicintainya. Han Seo Kyung sendiri adalah putri dari korban pembunuhan yang ditimpakan pada ayah Do Won. Seo Kyung menjadi korban penembakan yang dilakukan oleh pelaku, ketika dia memergoki pelaku sedang membuang koper, yang berisi jenazah. Hal ini membuat Do Won semakin termotivasi untuk menemukan siapa pelaku yang sebenarnya. 


Pada suatu malam, Do Won menemukan sumber keanehan, yaitu sebuah dunia paralel. Pada saat yang sama, Do Won ‘paralel’ pun menemukan dunia Do Won. Jadi tanpa mereka sadari, mereka telah bertukar tempat. 


Di dunia paralel, Do Won menemukan bahwa orang-orang yang dikasihinya, yaitu ayahnya dan Han Seo Kyung, ternyata masih hidup. Kasus yang terkait dengan ayah Do Won juga terjadi di dunia itu. Ayahnya tetap dianggap sebagai pelaku kejahatan, dan telah menjalani hukuman di penjara. Namun di dalam dunia paralel itu, hubungan Do Won dan Han Seo Kyung bukanlah sebagai kekasih. Ini seperti versi lain dari kisah hidupnya, dan dia bertekad untuk tetap tinggal di dunia itu, agar tetap dapat bertemu dengan orang-orang yang dikasihinya, walaupun dalam bentuk hubungan yang berbeda. Do Won berusaha memecahkan kasus pembunuhan berantai yang terjadi di dunia asal nya, yang diduga pelaku berasal dari dunia paralel ini. Pada saat yang sama, Do Won berusaha melindungi Seo Kyung, sesuatu yang tidak mampu dilakukannya di dunia asalnya. 


Kisah ini cukup menarik, karena beberapa pemeran utamanya bisa dibilang memainkan dua tokoh; orang yang sama, namun memiliki karakter yang berbeda. Tidak sulit bagi kita untuk membedakan yang mana siapa, karena tampilan mereka dibuat berbeda. Gaya rambut, gaya berpakaian, sampai pada perbedaan sorot mata dan bahasa tubuh. Sekali lagi, aku dibuat kagum oleh penghayatan peran para oppa dan eonni Korea ini. 



Tokoh yang sama dengan karakter yang berbeda
sumber: koalasplayground.com

Memang pada kisah ini ada bagian yang ‘bolong’ di sana sini. Misalnya, tidak jelas dikisahkan bagaimana si pelaku awalnya menemukan ‘gerbang’ perpindahan dunia. Proses perpindahan dari satu dunia ke dunia lain ini juga tidak jelas, selain perpindahan itu bisa hanya terjadi apabila hujan, hanya pada malam hari sekitar pukul 9.30, dan hanya dengan menggunakan kereta nomor 8210 jurusan stasiun Mugyeong. Tidak jelas juga si pelaku ini datang dari dunia yang mana, karena pada bagian penutup episode akhir, dan juga pengakuan pelaku, mengesankan ada lebih dari dua dunia paralel yang dijalaninya. 

Secara keseluruhan kisah ini cukup menarik untuk ditonton. Karena drama ini bergenre thriller, tentu saja terdapat adegan kekerasan atau kekejaman, yang untungnya tidak terlalu banyak. Episode terakhir, yaitu episode 12, merupakan bagian yang paling krusial, dimana pada episode ini diceritakan apa yang sebenarnya terjadi, yang melatarbelakangi semua kisah yang kita saksikan sejak episode 1 sampai 11.  


Satu pesan moral yang bisa diambil dari drama ini adalah kita tidak bisa mengubah atau lari dari masa lalu kita. Meskipun kita diberi akses masuk ke dunia paralel, ternyata akhir kisahnya sama saja, yang berbeda hanya proses dan waktunya. Maka yang perlu kita lakukan adalah “move on”, melanjutkan hidup, mempersiapkan masa depan, menerima kenyataan dan bukan malah sibuk berusaha untuk mengubahnya.


Ada satu hal lagi yang membuat drama ini menarik sekaligus agak menyebalkan buatku. Menurut artikel yang kubaca, peran ini tadinya ditawarkan kepada Kim Jae Wook, tapi ditolak. Maka sepanjang menonton drama ini, sulit sekali bagi ku untuk tidak membayangkan apabila Jae Wook yang menjadi tokoh Seo Do Won… hiksss…  #bucin_halu


Siapakah sebenarnya pelaku kejahatan tersebut? Dan apa sebenarnya alasan melakukan pembunuhan berantai? Apakah Do Won bersatu kembali lagi dengan Seo Kyung? Sok atuh capcuss langsung tonton drama nya di Viu Premium.


Monday, August 24, 2020

Nyalon Perdana di Masa Pandemi Corona

 Sejak kecil aku tidak pernah memanjangkan rambut. Paling maksimal seleher; itu pun sungguh jarang terjadi. Biasanya aku selalu memotong pendek rambutku, kira-kira sebatas garis telinga, atau lebih pendek lagi.

Ketika masih di Bandung, aku tidak sulit menemukan salon atau juru pangkas rambut yang ahli memotong model rambut pendek. Awalnya aku tidak punya salon langganan, dan suka mencoba-coba salon, apalagi kalau lagi ada promo atau voucher discount. Tetapi menjelang akhir masa perkuliahan, ada satu salon yang menjadi favoritku, namanya Sunan Salon. Salon ini letaknya di Jl. Cisitu Lama, tidak jauh dari kost ku selama di Bandung. Bila ada kesempatan ke Bandung, aku berusaha menyempatkan diri untuk melakukan perawatan rambut di sana. 


Ketika pulang ke Medan, ternyata kebutuhan memotong pendek rambut ini tidak gampang dipenuhi. Entah kenapa, potongannya beda aja. Tidak memuaskan seperti di Bandung. Nanggung gitu. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Mas Bowo. 


Waktu itu aku diajak temanku ke salon langganannya, dimana Mas Bowo bekerja sebagai hair stylist. Pertama kali rambutku dipotong oleh Mas Bowo, aku langsung kepincut berat dan tak bisa lagi pindah ke lain hati. Kami memiliki pendapat yang sama, “rambut panjang itu membosankan” hihihi. Sejak saat itu Mas Bowo menjadi hair stylist idolaque. Mas Bowo sempat berpindah salon tiga atau empat kali, dan aku mengikuti kemana dia pindah. 


Dengan Mas Bowo ini, aku sudah mencapai titik kenyamanan, dimana aku bahkan tidak perlu mengatakan lagi model rambut yg aku inginkan. Tinggal duduk dan ‘menunggu nasib’. Sampai pernah sekali waktu, ketika Mas Bowo mulai berkarya, aku mengobrol dengan temanku yang barengan datang ke salon. Aku tidak memperhatikan lagi apa yang dilakukannya dengan rambutku. Lagi pula, aku harus melepas kacamata, sehingga tidak bisa melihat dengan jelas. 


Ketika selesai, ternyata rambutku sudah super duper cepak. Mungkin panjang yang tersisa hanya sekitar 2 atau maksimum 3 cm. Aku sih bahagia-bahagia saja. Cepak artinya praktis dan ringkas, tidak perlu menghabiskan waktu lama untuk bersisir. Dan memang dengan potongan cepak itu aku tidak perlu bersisir hahaha Tetapi Mami ku tidak terlalu sepakat. Memang beliau tidak mengatakan apa-apa ketika melihatku pulang dengan rambut tinggal “seadanya”, tapi Mami langsung mengangsurkan sepasang anting, “Nih pake!”. Yeah… action speaks louder than words hahaha


Terakhir sekali aku memotong rambutku adalah pertengahan bulan Maret yang lalu, di salon yang dekat dengan kantor. Boleh juga hasilnya. Namun semenjak pandemi, beberapa usaha harus tutup sementara, termasuk salon yang dekat kantor tadi. Sungguh perjuangan rasanya mengurus rambut yang menggondrong ini. Aku punya kebiasaan keramas setiap pagi. Maka selama masa pandemi ini, sehari bisa keramas dua sampai tiga kali, karena setiap bepergian keluar rumah, pulangnya pasti mandi dan keramas lagi. Aku juga tidak punya alat pengering rambut. Jadi, ketika rambut memanjang tak berbentuk dan sudah lebih mirip logonya versace, maka urusan pasca keramas menjadi sangat merepotkan. 


Akhirnya hari Minggu kemarin, ku tak tahan lagi. Ketika seorang teman mengajak ke salon langganannya, yang sudah dipastikannya mengikuti protokol kesehatan, aku pun langsung mengiyakan. 


Ternyata salon tersebut tidak terlalu jauh dari tempat kost. Sebelum masuk ke salon, setiap pelanggan wajib mencuci tangan dengan air dan sabun yang sudah disediakan di pintu masuk. Kemudian mereka akan mengukur suhu tubuh kita. O iya, satu lagi, pelanggan wajib menggunakan masker.


Salon itu tidak terlalu besar, ku perkirakan sekitar 50 m2, namun bersih dan teratur. Maksimum hanya bisa melayani lima orang pelanggan. Posisi duduk sedemikian rupa, sehingga tidak ada pelanggan yang duduk bersebelahan. Di bagian tengah, ada dua set kursi-cermin yang saling berhadapan, dan tiga set lagi di letakkan di bagian sisi dinding, dan menghadap ke arah yang berbeda. Mereka menyediakan sepasang kursi di dekat pintu masuk, dan sebuah sofa di bagian dalam, untuk tempat menunggu bila diperlukan. Penyusunan kursi dan sofa ini pun diatur sedemikian rupa sehingga tetap ada jarak minimal satu meter dengan kursi pelanggan. Ruangan tersebut dilengkapi AC, namun mereka membuka pintu bagian belakang salon (area tempat mencuci rambut), untuk memastikan sirkulasi udara. 


Seluruh pekerja di salon itu menggunakan masker. Mereka bekerja dengan cepat, supaya pelanggan tidak terlalu lama berada di dalam salon. Mereka juga tidak banyak mengobrol dengan pelanggan maupun dengan sesama pekerja salon. Dan selama aku di sana, para pelanggan juga tidak banyak bersuara. Suatu hal yang jarang terjadi bukan? Mungkin karena pengaruh menggunakan masker, sehingga tidak nyaman untuk mengobrol. 


Ketika tiba giliranku, aku menunjukkan foto model rambut yang kuinginkan kepada si Aa’ (btw, aku memang lebih pas kalau yang memotong rambutku adalah pria), dan dia langsung bekerja. Tidak sampai satu jam, seluruh proses selesai dan aku sudah memperoleh ‘rambut baru’. Rasanya sungguh melegakan sekali. Selain mereka cepat bekerja untuk melayani pelanggan, mereka juga dengan cepat menyapu sampah guntingan rambut. Pantas saja salon itu tetap terlihat bersih. 


Secara keseluruhan, pengalaman nyalon perdana di masa pandemi ini cukup memuaskan. Memang hidup harus terus berlanjut. Kita harus dengan cepat beradaptasi dengan situasi yang baru ini, baik sebagai pelanggan maupun pemilik usaha. Baik sebagai pelanggan maupun pemilik usaha, kita perlu memastikan bahwa kita tetap menjalankan protokol kesehatan, menjaga kebersihan dan keamanan diri masing-masing. Dengan menjaga diri sendiri berarti kita juga ikut menjaga keamanan sesama. 


Semoga saja setelah pandemi ini usai, kita tetap bisa mempertahankan kebiasaan-kebiasaan baik ini. 


Saturday, August 22, 2020

BTS - Tujuh Jagoan "Anti Peluru"

Dulu, aku merasa heran ketika menonton sebuah liputan di infotainment tentang JKT48, sebuah grup beranggotakan gadis-gadis imut Indonesia dan Jepang beraliran JPop. Yang mengherankan bukan 30-an orang membernya dengan talenta yang luar biasa. Tetapi para wota atau fans mereka yang juga luar biasa. Luar biasa fanatiknya! 

Jadi infotainment tersebut sedang meliput Theater JKT48, sebuah teater yang secara eksklusif menjadi tempat pertunjukan JKT48 dan ‘sister group’ mereka. Ketika diwawancara, salah satu wota mereka bilang kalau dia menonton setiap pertunjukan JKT48 di teater itu. Bahkan kadang-kadang 2 pertunjukan dalam satu hari. Belum lagi yang membeli setiap album mereka, bahkan memborongnya, demi mendapatkan tiket Handshake Event, demi bisa bertemu langsung dan berinteraksi dengan para member JKT48. Belum lagi yang mengumpulkan berbagai merchandise original JKT48. Belum lagi yang menghafal setiap lagu mereka, lengkap dengan “chanting”nya. 

Para wota sejati ini bukan gadis kecil imut dan lucuk. Tapi mereka adalah pria-pria yang tampak gahar, yang tampilannya lebih mirip fans fanatik salah satu klub bola di negeri ini. Lebih terlongo lagi ketika aku mendengar pengakuan salah satu wota sejati ini. “Mendengarkan lagu-lagu JKT48, melihat mereka perform, gw merasa masalah gw ilang dan hidup jadi indah”. Ketika itu, aku cuman ngekeh mencibir, sambil berkata dalam hati, “Cemm betuuul ajaa….”


Lama sesudah itu, tepatnya tahun 2019. Ketika itu aku baru-baru saja comeback ke dunia drakorian. Suatu ketika, aku memperhatikan medsos dua orang teman, yang juga penggemar drakor. Mereka sering kali memposting sesuatu tentang BTS, dan kalau sudah ketemu, mereka akan membahas BTS dengan sangat seru nya. Aku jadi penasaran, siapa sih BTS ini? Lalu aku mulai mencari tahu tentang BTS, lagu-lagu dan kisah perjalanan karier mereka. 


BTS adalah kependekan dari Bangtan Sonyeondan, yang secara harafiah berarti “Bulletproof Boy Scouts”. Grup boyband KPop bentukan agensi kecil bernama Big Hit Entertainment yang beranggotakan tujuh orang pria muda Korea, yaitu Kim Seok Jin (Jin), Min Yoon Gi (Suga), Jung Ho Seok (J-Hope), Kim Nam Joon (Rap Monster - RM), Park Ji Min (Jimin), Kim Tae Hyung (V), dan Jeon Jung Kook (Jungkook - JK). 


Penampilan BTS pada saat debut tahun 2013
JK - RM - Jimin - JHope - Jin - Suga - V
(sumber: http://hearty-sweetheart.blogspot.com/)


Grup ini memulai debutnya di tahun 2013. Sejak saat itu, mereka telah menghasilkan setidaknya 23 album (termasuk mini album dan Japan version), serta memperoleh banyak penghargaan dan berbagai prestasi di bidang musik. Perjalanan karier mereka tidak berjalan mulus begitu saja, tapi melalui begitu banyak tantangan. Namun, mereka berhasil mengatasinya bersama-sama sebagai sebuah grup, sehingga saat ini, mereka menjadi grup boyband yang paling sukses dan yang paling berpengaruh di dunia.


Lagu-lagu BTS sering kali bertemakan konflik sosial, khususnya yang sering dialami oleh anak muda seusia mereka. Misalnya lagu “N.O.” merupakan kritik terhadap sistem edukasi di Korea Selatan yang terlalu kompetitif. Lagu “Bapsae/Silver spoon/Try Hard” merupakan kritik terhadap generasi yang lebih tua, yang memiliki ekspektasi berlebihan terhadap generasi muda, dan mengajak generasi muda untuk menjadi diri mereka sendiri. Melalui lagu ini mereka juga mengajak kaum “silver spoon”, yaitu mereka yang datang dari keluarga pas-pasan, untuk mengejar kesuksesan kaum “gold spoon”, dengan usaha dan kerja keras. 


Tidak hanya mengkritik generasi yang lebih tua, BTS pun mengkritik generasinya melalui lagu “Spine Breaker”, yang menyindir anak muda yang memaksa orang tua mereka membelikan barang-barang mahal, supaya mereka diterima dalam pergaulan. Sesuai dengan namanya “Bulletproof” atau ‘anti peluru’, yang diartikan sebagai mereka mampu melawan dan menghadapi segala tekanan tadi, dan terus maju dengan tetap mempertahankan identitas mereka, dan menularkan konsep ini kepada para penggemarnya.


BTS ikut menulis dan memproduksi lagu-lagu yang mereka bawakan. Lagu-lagu mereka selalu memberikan semangat dan mengingatkan kita untuk tidak menyerah, memberikan inspirasi agar kita mencintai dan menerima diri kita sendiri. Seiring dengan waktu, lagu-lagu mereka semakin “dewasa” dan sarat makna. Hal ini juga sejalan dengan semakin beratnya perjuangan dan tantangan yang mereka hadapi, yang berbanding lurus dengan ketenaran yang mereka dapatkan. 


Penampilan BTS bersama beberapa artis internasional lainnya
di panggung Grammy Award 2020
(sumber: Newsweek.com)


Lagu-lagu BTS yang sarat akan makna itu tidak hanya bersumber dari pengalaman dan pengamatan mereka, namun juga dari berbagai literatur sebagai referensi. Salah satunya adalah album Map of The Soul: Persona, yang dirilis tahun 2019. Album ini terinspirasi dari buku “Jung’s Map Of The Soul: An Introduction” oleh Dr. Murray Stein. Buku ini membahas teori psikologi Carl Jung tentang lapisan-lapisan yang menjadi bagian dari identitas kita sebagai manusia, mulai dari konsep “persona”, “shadow”, hingga “ego”. Melalui album ini, BTS ingin mengangkat sebuah tema “Siapakah diri saya yang sebenarnya?”


Pada tahun 2018, BTS mendapatkan penghargaan dari UNICEF, dan mereka mendapatkan kehormatan untuk menyampaikan pidato di depan Majelis Umum PBB (klik di sini untuk melihat videonya). BTS dipilih karena melalui kampanye “Love Myself”, mereka dipandang telah mendukung usaha untuk meningkatkan kesempatan dan pemberdayaan bagi anak muda. Melalui kampanyenya, BTS menyuarakan bahwa semua potensi manusia berasal dari mencintai dan menghargai diri sendiri, dimana pesan ini sejalan dengan tujuan UNICEF. 


BTS di depan Majelis Umum PBB (sumber: Cleo Sg)

Ada banyak lagu BTS yang aku suka. Saat ini aku paling suka dengan lagunya yang berjudul “Black Swan”, single pertama dari album BTS yang bertajuk "Maps of The Soul: 7". Art Film lagu “Black Swan” dibuka dengan sebuah quote dari Martha Graham, seorang penari dan koreografer asal Amerika Serikat, yaitu “A dancer dies twice -- once when they stop dancing, and the first death is the more painful.” Melalui lagu ini, BTS menyuarakan kekhawatiran mereka, bahwa mungkin suatu saat nanti mereka akan kehilangan passion terhadap musik. Simak salah satu liriknya dalam terjemahan bahasa Inggris: 

“If this can no longer resonate, No longer make my heart vibrate. Then like this may be how I die my first death. But what if that moment’s right now. Right now.”


Penampilan BTS ketika pertama kali membawakan lagu "Black Swan" secara live
dalam acara The Late Late Show With James Corden
(sumber: https://uskpopfest.com/)

Terbaru dari BTS, mereka merilis single yang berjudul “Dynamite”, yang liriknya sepenuhnya berbahasa Inggris. Sejak diluncurkan di YouTube, video musik “Dynamite” terus mencapai rekor-rekor baru yang belum pernah terjadi dalam sejarah YouTube. Ketika video itu dirilis, dalam hitungan detik, video itu ditonton 3 juta orang. Dalam 21 menit, angka tersebut meroket hingga 10 juta, dan dalam 8 jam, angka tersebut makin melesat ke angka 50 juta. 


Para member BTS mengakui karena menggunakan bahasa Inggris, lagu ini membuat mereka keluar dari zona nyaman. Melalui lagu ini, mereka ingin memberikan energi dan semangat kepada para penggemar dan semua orang yang mendengarkan lagu ini. Mereka ingin menghibur dan menyenangkan para penggemarnya, dan ingin agar mereka tidak merasa sendiri di tengah situasi sulit saat ini. 


Buatku, BTS bukan sekadar tujuh pria dengan visual menawan hati dan jiwa, yang punya banyak talenta, jagoan nulis lagu dan nyanyi sambil nari tanpa kehilangan pitch. Juga bukan sekadar lagu-lagu dan video klip yang keren dan sarat makna, yang sudah pasti direncanakan dengan konsep matang dan mendetail. Walaupun belum pantas menyebut diri sebagai ARMY sejati (Adorable Representative MC of Youth -- fans club BTS), tetapi aku sangat menggemari dan mengagumi karya serta totalitas mereka sebagai seniman. Mereka adalah bukti nyata bahwa usaha dan kerja keras tidak akan mengkhianati hasil. 


BTS ketika menghadiri Grammy Award 2020
JK - V - Suga - Jin - Jimin - RM - JHope
(sumber: Forbes)


Di masa awal aku mendengarkan lagu-lagu mereka dan menonton video klip mereka di YouTube, aku hanya bisa mengingat RM, karena RM adalah member yang paling ukuran tubuhnya paling tinggi. Tapi selain itu, aku tidak bisa membedakan yang mana namanya Jin, Suga, J-Hope, Jimin, V, dan JK. Sekarang?? Jangan tanya… Sambil merem pun aku bisa membedakan siapa yang sedang nyanyi, nge-rap, bahkan lagi ketawa! Ok lebay. 


Ketika lelah dengan rutinitas pekerjaan dan butuh mood booster, maka aku akan memasang lagu-lagunya BTS. Ketika menutup hari, sambil beristirahat aku akan menonton video-video dan variety show BTS, sebagai “my daily dose of oppa”. Sekarang aku mengerti apa yang dirasakan wota fanatik tadi. Seandainya aku ketemu dengan dia, aku mau bilang, “I feel you, brother!”


Wednesday, August 19, 2020

Choco Lava by Choco Lova'

Salah satu jenis makanan favoritku adalah segala sesuatu yang berbahan dasar coklat, apalagi coklat hitam atau dark chocolate.

Aku sangat suka coklat batangan dalam segala variannya, milk, cashew, mint, chili, fruit, liquor, dan tentunya dark chocolate. Semakin tinggi persennya, semakin sedap! Eh, tidak termasuk white chocolate ya... buatku, itu bukan coklat. Warnanya aja putih...  nyaru itu mah. Abangku pasti membawakanku segepok coklat setiap kali dia pulang atau berkunjung ke Bandung ketika aku masih kuliah. Joseph, teman sejurusanku, memberikan sebungkus Milo Bar, yang segede dosa itu, sebagai tanda resminya pertemanan kami. Sahabatku, Andre, memberikan aku coklat pada hari Valentine, karena katanya, “lu kan gak doyan bunga”.

Aku juga sangat suka roti dengan meses dan selai coklat. Roti sobek dari bakery favorit di Medan (masih bisa membayangkan rasa coklatnya yang lummerrr) sampai roti sobek Sari Roti. Untuk meses, pilihan favoritku adalah Ceres. Betapa bahagianya ketika Ceres mengeluarkan varian “dark chocolate”. YAY! Kalau selai coklat mah, apa aja suka. Nutella, Crumpy, Ovomaltine, Hersey’s, sampai Morin dan Mariza. Kemarin aku baru saja memesan selai coklat Negro Brand lewat sebuah akun IG jastip makanan Bandung. Beberapa teman merekomendasikan selai-selai Negro Brand ini, katanya sedap sangat. Penasaran juga pengen mencoba.

Kalau untuk minuman atau sebangsanya, aku juga sangat suka hot chocolate dan eskrim coklat. Khusus untuk coklat dalam bentuk eskrim, aku hanya suka varian dark chocolate, karena pahit coklatnya lebih nyata. Kalau hot chocolate, aku suka semuanya. Mulai dari yang instan sachetan, sampai hasil racikan gerai yang mana aja. Dulu waktu masih kuliah, sesekali pas lagi ada duit, atau pas dikunjungi ortu (baik ortu sendiri atau ortu teman hehehe) nongkrong di Cafe Oh La La demi segelas hot chocolate nya yang sedapp...

Satu lagi yang aku paling suka adalah kue coklat. Ketika masih SD sampai SMP, ketika ulang tahun masih dirayakan dengan tepuk tangan dan tiup lilin bersama keluarga besar, Ompungku selalu membelikan tart “Devil’s Cake” dari bakery favorit tadi. Itu isinya coklaaatt melulu. Semua cake nya rasa coklat, dibagi tiga layer. Setiap layer dikasih selai coklat. Dan sebagai finishing, seluruh permukaannya ditutup dengan lapisan coklat. Beneran pesta!!

Aku juga sangat suka brownies. Ketika kuliah di Bandung, aku belajar membuat brownies bersama teman-teman  The Navigators. Ketika itu kami mengumpulkan dana dengan cara berjualan brownies. Hampir setiap hari membuat dan memanggang brownies untuk dagangan, akhirnya suatu hari aku dan temanku, Maria, membuat brownies untuk kami makan berdua hahaha

Keterampilan membuat brownies ini sempat kujadikan sumber penghasilan. Ketika baru lulus, sambil melamar kerja dan menunggu panggilan interview, aku berjualan brownies di warnet seorang teman. Lumayan juga, aku sampai punya pelanggan tetap. Namanya Ruth. Kata petugas warnet, Ruth bisa menghabiskan sampai enam potong brownies setiap kali ‘ngetem’ di warnet itu. Karena dapat pekerjaan di Bireuen, aku tidak lagi melanjutkan usaha brownies ku. Terakhir sekali aku ‘berdagang’ brownies adalah ketika membuatkan kue ultah untuk Angel, teman gerejaku.

Kemarin, seorang teman di WAG Stosa Girls membagikan sebuah video Tiktok tentang resep kue chocolava. Bahannya mudah di dapat, cara membuatnya pun gampang. Bahan utamanya adalah minuman instan Chocolatos. Sebagian besar bahan-bahannya sudah tersedia di kosan, kecuali gula. Boleh juga nih, buat mengisi hari libur besok.


Tadi sore sebelum pulang aku mampir ke 'indoapril' untuk membeli gula, dan sekalian mengangkut beberapa bahan untuk membuat kue lainnya, seperti soda kue, baking powder, dan fermipan. Rencananya pengen bikin martabak. Isi coklat tentu saja.

Selagi leyeh-leyeh sehabis mandi, sambil mikir menu makan malam, tiba-tiba aku terniat untuk membuat si chocolava malam ini. Langsung ke dapur, memanaskan kukusan, lalu membuat adonan. Tidak sampai sepuluh menit, adonan sudah jadi. Adonan aku tuang ke dalam cangkir keramik tahan panas, masing-masing setengah penuh. Lumayan dapat tiga cangkir. Siap untuk dikukus. Sedikit uji nyali juga eksperimen sekali ini, karena indikator tabung gas sudah mendekati angka NOL, alias sudah mau habis hihihi


Sebelum - Sesudah (dok.pribadi)

Petunjuk pembuatan di video itu cukup jelas. Kecuali satu, yaitu durasi mengkukus. Petunjuknya cuman “tidak terlalu lama, tapi tidak terlalu sebentar”. Okeh baik!

Lalu aku mengkukus sekitar 8 menit, kok tampilannya kurang meyakinkan. Akhirnya aku lanjutkan sampai 12 menit. Aku keluarkan satu cangkir, lalu menyendok untuk mencoba. Ternyata hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Lavanya sudah matang menjadi kue. Aku langsung membuat mental note, kalau bikin ini lagi, mengkukusnya cukup 7 menit. 


Chocolava with NO lava. Teksturnya sudah ok, rasanya apalagi. (dok.pribadi)

Secara tekstur, kue nya sudah sama dengan chocolava yang pernah kucoba. Apalagi rasanya... sedap... Tidak sampai sepuluh menit, aku menuntaskan seluruh isi cangkir. It’s so sinfully yummy!

Tuesday, August 18, 2020

Review Drama "Was It Love?" (2020)

Dalam kehidupan ini, yang berlaku adalah hukum sebab akibat. Segala akibat ada karena sebab. Kamu masuk angin karena tidur telat. Kamu tidur telat karena nonton drakor yang lagi hits pisan sampai larut. Kamu maksa nonton drakor yang lagi hits pisan sampai larut karena gak mau kena ranjau spoiler setiap kali akses medsos. Kok nontonnya malam banget? Soalnya nulis dulu, kejar setoran di KLIP. Kok nulisnya malam banget? Karena tadi siang kerja. Kerja apa belanja online?? Hehehe

Demikianlah hampir segala aspek kehidupan kita terjadi seperti sebuah efek domino. One thing leads to another. Hal-hal yang kita lakukan saat ini sedikit banyak pastinya mempengaruhi keadaan di masa yang akan datang. Memang tidak mungkin kita sanggup memikirkan semua konsekuensi dari tindakan yang kita ambil. Tidak ada seorangpun yang bisa tahu apa yang terjadi lima menit bahkan lima detik ke depan, apalagi berbelas tahun. Namun tetap saja kita harus memikirkan baik-baik setiap tindakan yang kita pilih. 


Idealnya setiap pilihan kita pikirkan dengan tenang, dengan hati dan kepala yang dingin, sehingga kita bisa objektif menilai situasi. Kenyataannya tidak selalu kondisi ideal itu terjadi. Namun, yang paling bahaya adalah ketika kita  mengambil pilihan dan membuat keputusan berdasarkan sebuah asumsi. Seperti yang terjadi pada kisah drama Korea “Was It Love?” (2020)


Poster "Was It Love?" (2020) - sumber: AsianWiki



“Was It Love” mengisahkan perjuangan seorang ibu tunggal, Noh Ae-jung (Song Ji-hyo) membesarkan putri tunggalnya, Noh Ha-nee (Um Chae-young). Selama empat belas tahun, Noh Ae-jung melakukan semuanya sendiri, dia menjadi ayah sekaligus ibu bagi Ha-nee. Segala pekerjaan dilakukannya, bekerja rangkap sana sini demi memenuhi kebutuhan hidup mereka, tanpa bantuan siapapun selain ibunya, Choi Hyang-ja (Kim Mi-kyung -- sang Ahjumma Idola). Noh Ae-jung tidak punya waktu untuk kehidupan pribadinya, apalagi urusan asmara. Hidupnya hanya untuk Ha-nee. 


Noh Ae-jung bekerja di sebuah perusahaan film yang berada di ambang kebangkrutan. Boss perusahaan tersebut pergi begitu saja meninggalkan perusahaan yang terlilit hutang. Rupanya boss yang jahat itu telah menjebak Noh Ae-jung, sehingga tanpa diketahuinya, Noh Ae-jung menandatangani persetujuan sebagai penjamin pinjaman perusahaan. Akibatnya Noh Ae-jung menjadi bulan-bulanan boss mafia ganteng, Koo Pa-do (Kim Min-joon). 


Dalam kekalutan, Noh Ae-jung menemukan sebuah kontrak hak produksi atas naskah yang merupakan karya perdana dari seorang penulis terkenal dengan nama pena Cheon Eok-man. Itu adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan perusahaan. Untuk mewujudkannya, Noh Ae-jung harus berusaha super duper ekstra keras, karena Koo Pa-do menuntut film itu harus mesti wajib dibintangi oleh aktor ternama, Ryu Jin. 


Ternyata Cheon Eok-man, yang selama ini wajahnya tidak pernah dipublikasikan, adalah pria dari masa lalu Noh Ae-jung. Empat belas tahun lamanya mereka tidak bertemu. Nama asli penulis adalah Oh Dae-o (Son Hu-jun), dan dia adalah kekasih Noh Ae-jung selama di kampus dulu. 


Pertemuan itu membuka banyak kenangan lama. Oh Dae-o ternyata masih menyimpan tanda tanya besar kenapa dulu Noh Ae-jung meninggalkan dirinya. Noh Ae-jung pun masih menyimpan sakit hati terhadap Oh Dae-o. Semua itu terjadi karena asumsi mereka masing-masing terhadap kejadian-kejadian empat belas tahun yang lalu. 


Ketika kuliah, Oh Dae-o mengalami masalah keuangan dalam keluarga, sehingga ia harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan biaya kuliahnya. Namun Oh Dae-o tidak menceritakan masalah ini kepada kekasihnya. Dia takut Noh Ae-jung akan meninggalkannya kalau tahu masalah yang sebenarnya.


Oh Dae-o terus bekerja keras mengumpulkan biaya hidup, sehingga tidak punya waktu dan perhatian lagi untuk Noh Ae-jung. Lama-lama Noh Ae-jung merasa Oh Dae-o semakin jauh, dan mereka semakin sering bertengkar. Noh Ae-jung merasa hubungan mereka semakin sulit dipertahankan. 


Suatu malam Noh Ae-jung datang ke apartemen Oh Dae-o, dan menyaksikan sesuatu yang membuat Noh Ae-jung sakit hati. Hal itu seakan menjadi puncak dari kebimbangan Noh Ae-jung terhadap hubungan mereka. Merasa hubungan mereka tidak bisa dipertahankan lagi, Noh Ae-jung pun pergi tanpa meminta penjelasan dari Oh Dae-o. 


Oh Dae-o tidak percaya ketika Noh Ae-jung benar-benar meninggalkannya. Dia tidak mengerti apa yang membuat Noh Ae-jung pergi tanpa meninggalkan pesan, tidak mau menerima telepon atau membalas pesan dari Oh Dae-o. Pertanyaan ini lah yang terus menghantuinya selama empat belas tahun.  


Selama di kampus, Oh Dae-o dan Noh Ae-jung bersahabat dengan seorang senior mereka, Ryu Jin. Ryu Jin yang sama, yang kemudian menjadi aktor terkenal, dan diminta untuk membintangi film yang diproduseri Noh Ae-jung. Mereka bertiga selalu bersama. Mereka bahkan membuat proyek bareng di kampus, dengan Noh Ae-jung sebagai produser, Oh Dae-o sebagai sutradara dan penulis cerita, dan Ryu Jin sebagai aktor. 


Ketika hubungan mereka bermasalah, baik Noh Ae-jung maupun Oh Dae-o menjadikan Ryu Jin sebagai tempat curhat. Namun, mereka tidak pernah tahu, sebenarnya Ryu Jin sudah sejak awal menyimpan perasaan kepada Noh Ae-jung. Dan kemudian, Ryu Jin turut memperkeruh kesalahpahaman di antara mereka, dengan harapan bisa merebut hati Noh Ae-jung. 


Proyek film empat belas tahun kemudian telah menjadi reuni, yang membuka banyak luka lama. Ternyata butuh empat belas tahun bagi mereka untuk akhirnya saling jujur dan terbuka menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi, dan apa yang sesungguhnya mereka rasakan. Pertemuan itu menimbulkan harapan sekaligus ketakutan baru. Tidak hanya bagi mereka bertiga, tapi juga bagi Ha Nee, putri Noh Ae-jung. Ha Nee berusaha mencari tahu siapa sebenarnya ayah kandungnya. 


Noh Ae-jung adalah sosok wanita pejuang, yang tidak kenal menyerah untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Hal itulah yang disukai Oh Dae-o dari Noh Ae-jung. Noh Ae-jung adalah satu-satunya orang yang percaya akan kemampuan dan mimpi Oh Dae-o untuk menjadi penulis terkenal. Namun, Noh Ae-jung merasa cintanya pada Oh Dae-o berat sebelah, sehingga Noh Ae-jung lebih banyak merasa dikecewakan. Dua orang yang saling mencintai, namun karena terlalu banyak asumsi, menyimpan masalahnya sendiri, tidak mau berbagi, akhirnya saling menyakiti. 


Oh Dae-o berasumsi Noh Ae-jung akan meninggalkannya kalau tahu masalah keuangan yang dialaminya. Akibatnya, Oh Dae-o tampak sibuk sendiri. Noh Ae-jung merasa sedih karena terus dikecewakan, merasa Oh Dae-o tidak lagi memperhatikan dirinya. Puncaknya Noh Ae-jung berasumsi bahwa Oh Dae-o telah berselingkuh. Asumsi yang berefek panjang, yang membuat Noh Ae-jung mengambil tindakan, suatu pilihan yang kemudian mempengaruhi banyak orang. 


Pilihan Noh Ae-jung membuat Ha Nee tidak mengenal siapa ayah kandungnya. Sudah lama Ha Nee memutuskan untuk tidak lagi bertanya tentang ayahnya, karena setiap kali dia bertanya, ibunya menjadi sedih. Namun sebenarnya Ha Nee menyimpan kerinduan akan sosok seorang ayah. Karena tidak punya ayah, Ha Nee menjadi sasaran perundungan di sekolah. Ha Nee yang mewarisi watak keras dan pejuang dari ibunya tentu tidak tinggal diam dan membalas perlakuan jahat yang diterimanya. Akibatnya, Ha Nee kerap berpindah-pindah sekolah. 


Drama ini awalnya berjalan lambat. Cukup lama sampai aku akhirnya menikmati jalan cerita dan mulai penasaran akan kelanjutan kisahnya. Dari semua pemain, aku paling suka dengan kemampuan akting aktris cilik, Um Chae-young, pemeran Noh Ha-nee. Istimewanya lagi, drama ini “menyuguhkan” empat oppa tampan sekaligus, yang berusaha merebut hati Noh Ae-jung. Favoritku adalah boss mafia, Kim Min-joon oppa. Cakepnya matang puun euy.. hahaha


Parade Empat Oppa Tampan
Son Ho-jun, Song Jong-ho, Koo Ja-sung, dan favoritku, Kim Min-joon
(sumber: zero-lite.com)


Drama ini sarat dengan pesan moral. Mengisahkan cinta orang tua yang begitu besar kepada anaknya, yang akan melakukan apa saja untuk melindungi mereka. Mengingatkan kita untuk tetap berjuang dan tidak melepaskan mimpi-mimpi kita. Tentang asumsi yang berujung menyakiti. Tentang hidup yang harus berbagi, karena kita tidak harus sendiri. 


Bagaimana kelanjutan kisah ini? Apakah si tiga sekawan berhasil memproduksi film dan menyelamatkan perusahaan Noh Ae-jung dari kebangkrutan? Siapakah ayah kandung Noh Ha-nee? Siapa kah yang akhirnya berhasil merebut hati Noh Ae-jung? Saksikan penayangannya setiap hari Rabu dan Kamis pukul 21.00 di Netflix.