Sunday, August 16, 2020

Pijat di Masa Pandemi

Salah satu kesukaanku adalah dipijat. Kesukaan ini bukan sesuatu yang rutin atau terjadwal. Tergantung kebutuhan juga, Kalau sedang masuk angin parah, baru pulang dari perjalanan luar kota, atau ada bagian otot ku yang tertarik atau keseleo karena saking lasaknya diri ini, maka aku segera menghubungi tukang pijat untuk datang ke rumah. Pernah juga beberapa kali aku mencoba pijat di pusat refleksi atau perawatan tubuh. Tapi aku lebih nyaman melakukannya di rumah. 

Kesukaan dipijat ini sudah berlangsung sejak lama. Waktu kecil dulu, Mami ku pasti akan memijat aku atau abangku kalau kami demam atau flu. Biasanya Mami akan membalurkan minyak dengan bawang merah ke tubuh kami lalu dipijat.     

Aku tidak ingat apakah ketika SMP sampai SMA aku sering dipijat. Waktu kuliah, beberapa kali aku memanggil mak pijat ke kos. Aku ingat ketika itu hari pertama aku mengikuti kursus mengendarai mobil. Kaki rasanya mau copot akibat selama hampir dua jam belajar menginjak pedal gas, rem, dan klos. Belum lagi stress nya karena baru kali pertama. Ketika memijat, si mak pijat bilang otot kaki sampai paha ku tegang semua seperti ditarik. 


Selama bekerja di Bireuen, aku pernah mencoba beberapa tukang pijat. Sekali, aku sedang main ke staff house pria, dan mereka sedang memanggil tukang pijat. Bapak ini tunarungu, beliau adalah salah satu penerima bantuan pada program NGO kami. Memang dasar doyan dipijat, aku pun ikut mengantri. Bapak ini keahliannya memijat refleksi, dan dia punya semacam tongkat kecil dari logam sebagai alat bantunya. Akhirnya tiba giliranku. Mula-mula masih terasa menyenangkan, sampai si bapak mulai memakai alat bantunya. Tongkat besi itu digelindingkan di tulang kering dan telapak kaki, rasanya sakit tak terkata. “Pak, udah pak, gak usah pakai itu” kataku. Si bapak tak bergeming, santai saja melanjutkan terapi nya. Akhirnya ‘derita’ itu pun berakhir. Kemudian aku ‘mengadu’ pada temanku tentang derita ku tadi. Dia tertawa dan bilang, “Bapak itu kan tunarungu, mau kamu menjerit kaya’ apa juga gak dengar dia”. #tepokjidat


Sejak tahun 2013, kami punya langganan tukang pijat namanya Bu Misna. Bu Misna bukan lagi sekadar tukang pijat, tapi beliau sudah seperti keluarga bagi kami. Kami ikut berduka ketika suaminya meninggal karena sakit. Kami ikut berbahagia ketika beliau menikahkan putrinya yang kedua, kemudian yang ketiga. Setiap Idul Fitri dan Idul Adha, juga setiap keluarga Bu Misna mengadakan syukuran, keluarga kami pasti akan mendapatkan berkat berupa kiriman lontong sayur, rendang ayam, tauco, lengkap dengan kue basah dan kue kering. Semuanya hasil masakan Bu Misna. 


Kalau soal kualitas pijatan, Bu Misna ini paling mantap, tak ada bandingnya. Segala urusan keseleo, salah urat, masuk angin, sakit perut, bisa diamankannya. Satu keistimewaan Bu Misna, setiap memijat dia akan ‘ribut’ mengeluarkan angin. Kadang-kadang ada orang yang tidak suka dan terganggu dengan suara-suara yang dikeluarkannya. Kalau aku sih tidak masalah, yang penting badanku terasa nyaman lagi.


Sejak masa pandemi, tepatnya sejak akhir Maret tahun ini, aku tidak lagi melakukan kesukaan ini. Selain aku pun menghindari kontak khususnya dengan orang asing, usaha-usaha jasa pijat seperti GoMassage dan tempat-tempat refleksi pun menghentikan operasinya. 


Hari Kamis yang lalu, aku terjatuh di depan kamar mandi. Karena buru-buru, aku tidak memperhatikan bahwa aku tidak menjejak pada keset kaki tapi langsung menginjak keramik. Akibatnya aku pun tergelincir dan jatuh terduduk. Untung saja tidak bertumpu pada lutut atau persendian lain. Tetapi bagian depan kaki kiriku memar, karena menjadi tumpuan ketika jatuh dengan cepat. Namun aku harus tetap ke kantor karena sudah ada jadwal pertemuan. 


Setelah selesai bekerja, selesai mandi (dengan ekstra hati-hati), aku mengompres kaki ku dengan es batu, lalu membalurkan minyak urut. Untung saja malam itu aku tidak demam. Aku mulai mencari jasa pijat mana yang sudah beroperasi. Akhirnya ketemu satu jasa pijat keluarga di Instagram. Para terapisnya menjalani rapid test secara berkala, dan menjalankan protokol kesehatan ketika bekerja. Testimoninya pun cukup meyakinkan. Harganya sebenarnya cukup mahal untuk ku, namun apa boleh buat, efek jatuh harus segera dibereskan. Kalau tidak, semakin lama akan semakin menyakitkan.


Karena Jumat dan Sabtu aku ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda atau dijadwal ulang, maka akhirnya aku memesan untuk sesi pijat hari ini. Senin kan libur, jadi aku punya waktu ekstra untuk istirahat. 


Sebelum pijat, aku harus menyiapkan ‘lapangan upacara’ dulu. Ini bedanya dibandingkan pijat di pusat perawatan tubuh. Kita tidak perlu menyiapkan apa-apa, bawa badan sama uang saja hehe Kamarku tidak besar, sehingga aku harus menggeser meja kerja, supaya cukup ruang untuk meletakkan kasur di lantai. 


Terapis datang lebih cepat dari waktu yang dijadwalkan. Namanya Bu Ningsih. Beliau menggunakan masker, mencuci tangan sebelum dan sesudah bekerja, dan selama bekerja tidak banyak berbicara. Untungnya hanya aku penghuni kosan, sehingga selama di pijat, aku bisa membuka jendela dan pintu kamar, memastikan udara selalu bergerak. Setelah selesai pijat, aku menyemprotkan air disinfectant ke seluruh penjuru kamar, dan membungkus semua sprei dan kain alas yang digunakan untuk dimasukkan ke laundry.


Pelan-pelan, kita akan menemukan cara baru untuk menjalankan berbagai kegiatan seperti dulu. Selama kita tetap berusaha menerapkan protokol kesehatan, menjaga kebersihan, dan mempertahankan imunitas tubuh. Kita harus beradaptasi dengan cara yang baru, cara yang benar. Karena hidup harus terus berjalan.

No comments: