Sunday, November 15, 2020

Review Film "The Mirror Has Two Faces" (1996)

Film ini dirilis tahun 1996. Film bergenre komedi romantis, yang dibintangi oleh Barbra Streisand dan Jeff Bridges. Selain menjadi pemeran utama, Barbra Streisand juga menjadi produser dan sutradara dari film ini. Jelas Streisand bukan yang pertama melakukan hal seperti ini. Tapi aku tidak bisa membayangkan bagaimana sebagai pemain, utama pulak, juga harus menjadi sutradara. Dengan kata lain, dia harus mendalami setiap peran, ya gak sih? Hebat euy!

Aku lupa kapan pertama sekali aku menonton film ini. Tapi yang jelas, beberapa hari yang lalu aku baru saja menontonnya untuk ke-387 kalinya. Tentu lebay, tapi itu lah saking seringnya aku menonton film ini. 

Kenapa aku sampai nonton berkali-kali? Padahal endingnya kan udah tahu ya… Mungkin karena aku sejatinya seorang romance junkie hihi Film-film romance, apalagi romance comedy, selalu membuat hatiku bahagia. Meskipun kedua pemeran utamanya tidak selalu berakhir bersama, setidaknya mereka akan menyelesaikannya baik-baik, tidak bermusuhan, tidak ada prahara yang tak berkesudahan. Pokoknya bahagia. Selain itu, memang aku bukan fansnya Barbra Streisand. Namun, secara ada Jeff Bridges dan Pierce Brosnan, well… tentu saja film ini tidak boleh dilewatkan begitu saja, bukan? 


Satu lagi yang bikin suka banget dengan film ini adalah soundtracknya, yang menjadi lagu penutup, yaitu “I Foundly Found Someone” yang dinyanyikan duet oleh Bryan Adams dan Barbra Streisand.


Kembali ke film tadi.



Poster "The Mirror Has Two Faces" (sumber: Amazon)


Film ini mengisahkan tentang Rose Morgan (Barbra Streisand), seorang profesor English Literature di Universitas Columbia. Rose hidup berdua dengan ibunya, Hannah (Lauren Baccal), mantan artis yang cantik namun reseh. Rose mempunyai seorang saudara perempuan, Claire (Mimi Rogers) yang juga cantik.


Hidup dikelilingi orang-orang cantik, Rose selalu merasa dirinya tidak cantik dan tidak istimewa. Pernah suatu kali Rose jatuh cinta dengan seorang pria bernama Alex (Pierce Brosnan). Namun ketika Rose mengenalkan Alex kepada Claire, Alex malah jatuh cinta kepada Claire, lalu mereka menikah. Padahal Rose sebenarnya memiliki banyak kualitas yang istimewa. Rose adalah dosen favorit, kelasnya selalu penuh berisi. Para mahasiswa bahkan rela duduk atau berdiri di tangga, demi ikut mendengarkan kuliahnya. 


Gregory Larkin juga seorang profesor di Universitas Columbia. Ia adalah seorang dosen Matematika yang sangat pintar, namun mendadak bodoh dan lemah hati kalau urusan wanita. Gregory sering sekali dikecewakan dan ditinggalkan oleh wanita-wanita yang hanya menggunakannya untuk kepuasan fisik mereka semata. Gregory sangat ingin memiliki pasangan untuk berbagi hidup. Akhirnya Gregory memasang iklan untuk menemukan pasangan, yang bunyinya kira-kira: “Seorang pria, profesor di Universitas Columbia, mencari seorang wanita yang punya kesamaan minat dan berniat untuk menjalin hubungan. Harus memiliki gelar PhD, dan berusia lebih dari tiga puluh lima tahun. Penampilan fisik TIDAK PENTING!” 


Claire mengirimkan biodata Rose untuk menjawab iklan itu, dan Gregory tertarik. Singkat cerita, mereka bertemu dan menemukan banyak kecocokan. Gregory merasa nyaman karena bisa bicara tentang apa saja, bahkan tentang matematika, dengan Rose. Rose mengajarkannya banyak hal, termasuk bagaimana metoda mengajar yang baik, supaya mahasiswa tidak bosan dan mengantuk di kelas. Gregory merasa Rose lah yang dia cari. Dimana hubungan tidak berdasarkan kebutuhan fisik semata -- bahkan hubungan fisik tidak pernah terjadi di antara mereka-- namun karena kecocokan intelektual. Merasa telah menemukan pasangan yang dia cari-cari selama ini. Gregory pun melamar Rose, dan Rose menerimanya.


Gregory tidak tahu, bahwa sebenarnya Rose membutuhkan hubungan fisik itu. Rose adalah sosok yang mencintai romantisme dengan segala “huru-hara”nya. Gregory terlalu sibuk dengan keyakinannya bahwa hubungan fisik akan merusakkan semua kecocokan yang mereka miliki, seperti yang terjadi pada hubungannya sebelumnya. Gregory sibuk membentengi dirinya dari segala daya tarik fisik dan seksual, yang malah membuat Rose sedih dan patah hati. Padahal, sebenarnya tanpa sadar Gregory telah menunjukkan perhatian tulus kepada Rose. Gregory memperhatikan dan mengingat setiap detil kebiasaan Rose, dan hal itu membuat Rose jatuh cinta padanya. Karena suatu kesalahpahaman, Rose menyerah dari hubungan mereka, lalu pulang ke rumah ibunya. 


Rose merasa perasaan rendah dirinya, merasa diri buruk rupa, timbul akibat apa kata-kata yang dilontarkan ibunya kepadanya sejak dia kecil. Suatu pagi, setelah malamnya Rose kembali ke rumah Hannah akibat suatu kesalahpahaman dengan Gregory, suaminya, Hannah dan Rose akhirnya bicara hati ke hati.  Hannah minta maaf pada Rose, dan berkata, “Tidak ada orang tua yang dengan sengaja menyakiti hati anak-anaknya”. Aawww….. #terharu


Setelah sesi hati ke hati ibu-anak, Rose seperti mendapatkan kepercayaan diri. Rose mulai membenahi dirinya. Rajin berolahraga, makan makanan sehat, dan mempercantik diri. Kebetulan selama tiga bulan itu Gregory mendapatkan kesempatan menjadi dosen tamu di Eropa, sehingga selama itu pula mereka tidak bertemu. 


Selama tiga bulan itu, Gregory terus memikirkan Rose. Sayangnya Rose tidak mau menjawab satupun telepon atau pesan dari Gregory. Gregory tidak tahan dan akhirnya pulang lebih cepat dari jadwal yang direncanakan. Ketika menemukan Rose yang ‘baru’, Gregory merasa shock, dan merasa ‘tertipu’. Namun Rose membalikkan kata-katanya, “Kalau penampilan fisik tidak penting, jadi apa bedanya kalau aku menjadi cantik?”


Ditinggalkan oleh Rose, awalnya Gregory santai saja. Bahkan dia merasa ini kisah bersama Rose yang kemudian berakhir ini bisa dijadikan bahan studi untuk buku terbarunya. Namun, itu tak bertahan lama. Gregory jadi uring-uringan dan emosional. Untuk pertama kalinya, Gregory menyadari dan mengakui bahwa ia telah jatuh cinta pada Rose.


sumber: Pinterest/Mematic.net


Lalu bagaimana akhir dari kisah ini? Apakah Rose bersedia menerima Gregory kembali? Mungkin kita sudah bisa menebak ya, karena seperti kusampaikan di awal tadi, romcom sejatinya berakhir bahagia. 


Ketika menuliskan ini, aku jadi kepikiran. Kenapa judulnya “Mirror Has Two Faces” ya? Hmm.. mungkin harus nonton lagi untuk ke-388 kalinya.


Buat kamu yang suka kisah-kisah cinta berhujankan rindu bernafaskan asmara, capcuss langsung ke Netflix. Mumpung filmnya masih tayang.

No comments: