Di suatu hari, aku terduduk berkisah-kisah dengan seorang teman yang kukenal sejak masa SMP. Berarti kurang lebih enam belas tahun kami saling mengenal. Ketika di bangku SMP, kami bukanlah teman dekat, walaupun selama 3 tahun itu kami ada di kelas yang sama. Kami baru dekat setelah bertemu kembali beberapa tahun yang lalu. Mungkin kami bisa jadi dekat karena saat ini kami berada di titik yang hampir sama, walaupun jalan yang kami tempuh untuk sampai ke titik ini sangat berbeda. Kami bicara tentang keengganan dan ketakutan kami, yang ternyata adalah mirip (agak segan kalau nyebut sama hihi)
Sesi ngobrol-ngobrol ini membuat aku bisa sedikit banyak membongkar isi kepala dan hati ku sendiri.
Hal yang paling sulit kulakukan adalah mengambil komitmen, dan konsisten untuk menjaganya. Sehingga, ketika aku memilih sesuatu dimana aku harus mengambil komitmen, maka aku akan memilihnya dengan sangat hati-hati, dan cenderung untuk tidak melakukannya. Misalnya saat sesuatu tantangan atau hal baru dihadapkan padaku. Ketika itu seorang teman mengajak aku untuk bergabung di pusat kebugaran, cari gym buddy ceritanya. Maka aku langsung menolak, karena di pikiranku sudah jelas, “Ah, nanti pasti cuman semangat di awal, setelah itu males datang. Sayang banget nanti iurannya.”
Padahal kan seharusnya cara berpikirnya diganti menjadi “Wah, tawaran menarik ini. Mumpung ada teman, jadi pasti lebih semangat. Harus cari cara supaya tetap rutin ke gym, biar gak rugi udah bayar uang iuran mahal-mahal.”
Setelah ku renungkan lagi, mungkin sebenarnya yang kutakutkan adalah ‘kekalahan’ ketika tidak berhasil memenuhi komitmen, karena aku tahu aku sulit untuk konsisten melakukan sesuatu. “Kekalahan” ini bisa berarti gagal, tidak mencapai target, ataupun dikritik. Apalagi kalau kritiknya pakai karet dua, alias pedasss. Walaupun ketika mengalaminya aku akan diam saja, tetapi di dalam hati sudah pasti defensif.
Kegagalan juga membuatku enggan mencoba dua kali. Tahun 2007, aku pernah mengajukan aplikasi untuk mendapatkan beasiswa. Ketika itu jalannya tampak sungguh menjanjikan. Aku bahkan sudah bertemu dan diwawancara secara informal oleh salah seorang penilai. Aku masih ingat kata-katanya, “Saya rasa kamu memenuhi syarat, tapi panel penilai kan ada lima orang, saya hanya 1 suara. Tapi saya yakin kok kamu bisa.” Berbunga-bunga lah hati ini, seperti sudah bisa membayangkan akan belajar dan hidup di negara impian.
Tunggu punya tunggu, tak ada kabar berita. Sampai akhirnya aku memberanikan diri bertanya pada si penilai ini tentang hasil seleksi. Jawabannya pun masih kuingat jelas, “Sayang sekali kamu tidak lulus. Saya juga heran ketika nama kamu tidak ada di daftar pelamar yang lulus saringan untuk wawancara.” Lahh... kenapa jadi elu yang heran, bambang?? Bukannya situ panitia?? Oh baiklah... Dan setelah itu aku tidak pernah lagi melamar untuk beasiswa apapun. Kapok.
Alih-alih berusaha supaya tidak ‘kalah’ dengan merubah strategi atau berjuang lebih keras, atau berusaha untuk lebih konsisten menjaga komitmen, maka yang aku lakukan adalah memilih untuk tidak mengambil komitmen. Atau, aku akan memilih komitmen yang mudah, yang aku tahu aku bisa memenuhinya tanpa banyak usaha ektra.
Memang hal yang wajar ketika kita memilih medan pertempuran kita. Tetapi bedanya, aku memilih pertempuran yang membuat aku tetap ada di zona aman dan nyaman. Tidak perlu berdarah-darah terseok-seok demi mencapai garis finish. I’m playing safe.
Biasanya, yang bermain aman ini sulit untuk bergerak maju. Tetapi, percaya atau tidak, si pemain aman ini biasanya juga gak keberatan untuk tidak bergerak maju. Tidak punya ambisi. Pengen sih pengen, tapi ya kalau gak dapat juga gak apapa. Kan main aman.
Di awal tahun 2020 ini, aku mengambil keputusan untuk memulai hidup di perantauan. Tidak gampang meninggalkan sarang yang nyaman itu, but I did it. Sejak saat itu pula aku belajar untuk mengambil komitmen satu demi satu.
Aku juga belajar menerima “kekalahan”. Bahwa gagal itu perkara biasa, gak usah diratapi berlama-lama. Harus bangkit lagi dan berdiri. Pasang lagi jiwa dan hati yang sudah porak-poranda. Kalau tak sanggup berlari, ya sudah jalan saja. Yang penting harus bergerak. Orang hidup pasti punya masalah. Karena yang gak punya masalah cuman orang gila dan orang mati. Jadi dihadapi saja. Tanya Tuhanmu, pakai hatimu, pakai otakmu, dan tetaplah berjalan.
Menuliskannya kaya’ enak ya... Padahal melakukannya sama sekali bukan perkara mudah. Bad habits die hard. Butuh latihan. Porsinya pelan-pelan dinaikkan, sehingga lama-lama akan menjadi kebiasaan.
Salah satu latihan adalah dengan mulai membiasakan diri untuk menulis lagi, dan mengambil komitmen untuk ikut KLIP. Belajar mengalahkan sifat moody, dan memaksa diri memeras otak untuk menulis, demi bisa menyetor tulisan sesuai topik dan deadline yang sudah disepakati bersama. Masa’ kalah sih sama emak-emak di grup Drakor dan Literasi, yang harus urus anak urus suami urus kerjaan, trus masih tetap bisa menjaga komitmen menulis setiap hari. Malu sama keyboard, cuuyy... hahaha
Sudah kubilang, teman-teman grup Drakor dan Literasi itu mengintimidasi sekaligus menginspirasi ku. Saranghae, chingudeul!
No comments:
Post a Comment