Sunday, October 4, 2020

Penciptaan Hawa - Catatan Khotbah Minggu

sumber: https://adollar3eighty.wordpress.com/

Perikop : Kejadian 2 : 18 - 25

2:18 TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, q  yang sepadan dengan dia 1 ." 
2:19 Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan r  dan segala burung di udara. s  Dibawa-Nyalah semuanya kepada manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang diberikan t  manusia itu kepada tiap-tiap makhluk u  yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu. 
2:20 Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong v  yang sepadan dengan dia. 
2:21 Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur w  nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. 
2:22 Dan dari rusuk x  yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. 
2:23 Lalu berkatalah manusia itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku y . Ia akan dinamai z  perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki. a 
2:24 Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya 2  dan bersatu b  dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. c  
2:25 Mereka keduanya telanjang, d  manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.


Dalam perikop ini dikisahkan tentang penciptaan Hawa, perempuan pertama, yang dijadikan Tuhan dari tulang rusuk Adam. Ada banyak sekali hal yang dapat kita pelajari dari perikop ini. 


Kita sudah sangat sering mendengar pandangan filosofis tentang kisah penciptaan ini. Hawa tidak diciptakan dari tulang kepala sehingga menjadi “kepala”, atau tulang kaki sehingga menjadi “bawahan”, atau tulang tangan sehingga menjadi “pekerja”. Hawa diciptakan dari tulang rusuk sehingga menjadi sosok yang dekat di hati, sosok yang dilindungi, sosok yang mendampingi.  Dengan kata lain, sejak awal penciptaan, sangat jelas bahwa Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan itu sebagai partner, dimana perempuan dimaksudkan sebagai penolong yang sepadan.


Secara dunia, penolong ini bisa saja posisinya di atas, karena lebih mampu atau lebih berkuasa, sehingga bisa memberikan pertolongan. Bisa juga dikonotasikan di bawah, yaitu sebagai asisten. Namun, kembali lagi ke perikop tersebut, posisi yang sejak awal diberikan Tuhan adalah “sepadan”.  Nilai-nilai ini lah yang kemudian bergeser secara budaya, atau secara dunia.


Kalimat Adam, yaitu “tulang dari tulangku, daging dari dagingku” tidak gampang kita mengerti secara logika. Adam memandang Hawa sebagai tulangnya, sebagai dagingnya. Artinya Adam memandang Hawa sebagai bagian dari dirinya, bagian dari hidupnya. Adam adalah Hawa, Hawa adalah Adam. Tidak hanya setara, namun mereka adalah sama. 


Sebagaimana Adam memandang Hawa, demikianlah seharusnya kita memandang sesama manusia. Kita memandang sesama manusia sebagai bagian dari hidup kita, sebagai ciptaan Tuhan yang hidup bersama-sama di dalam satu dunia. Sudut pandang ini akan membuat kita mampu menerima keadaan sesama kita, mampu mengasihi mereka, 


Seperti yang disebutkan sebelumnya, nilai-nilai tersebut telah berubah, telah bergeser, seturut budaya manusia. Persoalannya adalah selalu saja manusia itu ingin lebih berkuasa daripada yang lain. Siapapun pelakunya, siapapun korbannya, perilaku ini sesungguhnya sangat merendahkan martabat manusia. Sebagai orang Kristen, sebagai murid Kristus, kita harus mengembalikan nilai-nilai itu kepada ‘grand design’, kepada ‘blue print’ yang sudah ditetapkan Tuhan sejak awal.


Bagaimana penerapannya? Nilai-nilai itu harus dimulai dari lingkungan yang paling kecil,yaitu keluarga.


Orang tua hendaklah memberikan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi anak-anak untuk berkembang sebagai pribadi yang utuh. Orang tua hendaklah tidak membeda-bedakan atau mengistimewakan perlakuan terhadap anak perempuan terhadap anak laki-laki, atau sebaliknya. 


Demikian pula sebagai suami dan istri. Perikop tersebut di atas menjadi pondasi dalam membangun pernikahan di dalam Tuhan. Sebagaimana Adam dan Hawa, suami dan istri adalah partner, mereka adalah sama, dan bersama-sama membangun sebuah keluarga yang berkenan kepada Tuhan. Ketika suami dan istri menerapkan nilai-nilai ini dalam menjalankan fungsi, tugas, dan tanggung jawab mereka dalam sebuah keluarga, maka anak-anak pun akan menirunya, sebab orang tua adalah figur contoh bagi si anak. 


Berangkat dari keluarga, kita membawa perilaku ini ke lingkungan yang lebih besar lagi, yaitu dunia. Sehingga kita mampu hidup berdampingan dengan orang lain, dan menjadi berkat di tengah-tengah kehidupan bersama dengan sesama ciptaan Tuhan.


No comments: