Monday, August 3, 2020

Asumsi Potensi Distorsi

Hari ini aku bekerja dari kantor. Mengingat makin maraknya penyebaran virus Covid19, kalau bukan karena mau ketemu dengan tiga orang rekanan untuk membahas beberapa tawaran pekerjaan, sudah dipastikan aku tidak akan berniat untuk beranjak dari rumah kost ku. 


Kantor tempat aku bekerja menempati lantai tiga dari gedung kantor bersama itu. Namun setibanya di kantor, aku langsung masuk ke ruang rapat yang ada di lantai dasar, dan tidak masuk ke ruang kantor di lantai tiga. Kondisi pandemi ini membuatku secara tidak sadar menetapkan “kuota” jumlah orang lain, yang tidak serumah pun bukan keluarga, yang aku temui per hari. 


Bukan orang awak kalau gak telat. Jadwal pertemuan ditetapkan pukul 10 pagi. Dan pukul 10.15, dua dari mereka “masih di jalan”. Aku hanya berharap kiranya jalan yang sedang mereka lalui itu adalah menuju ke kantor ini dan bukan tempat lain. Untuk tidak membuang waktu, aku memulai saja pembicaraan dengan satu orang rekanan yang sudah tiba. 


Singkat kata singkat cerita, dua rekanan tadi tiba beberapa menit setelah pukul 11. Sudah bisa ku tebak, waktu pertemuan kami ini pasti akan melewati atau paling tidak mendekati jam makan siang. Dan benar saja, waktu sudah hampir pukul 1 siang ketika pembahasan kami mendekati akhir. 


Aku mengirimkan pesan WA kepada admin. Sebut saja dia Bunga.

“Bunga, tolong belikan nasi bungkus dari RM Padang Simple ya. Ada kan yang dekat sini. Untuk 4 orang.”


Bunga segera menjawab pesanku.

“Baik, Bu. Ada, Bu. Pesanannya apa saja, Bu?”


Aku tidak langsung menjawab pesan Bunga. Sekitar 10 menit kemudian, ketika aku akan membalasnya, tiba-tiba pegawai bagian umum datang ke ruang rapat. 

“Bu, apa saja pesanannya?”

Setelah menyampaikan pesanan kami, lalu aku bertanya lagi, “Sudah tahu kan pak belinya dimana?” 

“Iya Bu, tadi sudah dikasih tahu sama Bunga”.


Tidak lama kemudian, pesanan kami pun datang. Berhubung sudah lapar berat, tanpa banyak komentar kami pun langsung menyantap nasi bungkus tadi. Setelah selesai makan, sedikit basa basi, pertemuan pun berakhir.


Kemudian aku mengirim pesan lagi kepada Bunga. 

“Berapa belanja makannya tadi?”

“Totalnya delapan puluh ribu sekian sekian, Bu”


Aku mengernyit. Aku tahu harga di RM Padang Simple itu cukup mahal. Nasi bungkus pakai telur saja hampir dua puluh ribu rupiah. Kok empat bungkus nasi dengan ayam bakar plus nasi tambah dan air mineral botolan bisa cuman segitu?

“Yakin kamu? Kok murah banget???”


Ternyata oh ternyata… Nasi bungkus tadi bukan dibeli di RM Padang Simple yang ternama itu. Tapi di RM Padang yang tak jauh dari kantor, tempat aku sering beli makan siang. Aku pun bertanya lagi ke Bunga, “Kenapa belinya di situ??”


Penjelasan Bunga adalah dia bertanya kepada supir kantor, dimana rumah makan padang yang dekat kantor. Dan supir pun menunjuk RM Padang “Simple ala ala” yang jadi langgananku itu. 


Aku pun bertanya lagi, “Kan saya udah bilang, belinya di RM Padang Simple. Kenapa kamu cari rumah makan padang dekat kantor?”


Bunga menjawab, “Oh… saya gak baca bagian itu, Bu. Saya pikir yang penting rumah makan padang”.


Bijaksana sungguh.


Sebenarnya bukan masalah besar. Hanya persoalan nasi bungkus empat biji. Tapi buatku ini mengindikasikan permasalahan lain yang klasik namun krusial. Perkara komunikasi dan asumsi.



sumber: mamikos.com


Kalau di-break down atas beberapa point, permasalahannya bisa dirumuskan sebagai berikut:

  1. Bunga tidak membaca pesanku dengan lengkap. 

  2. Bunga tidak tahu RM padang mana yang kumaksud, dan tidak tahu dimana RM padang di sekitar kantor. Tapi alih-alih bertanya atau mengklarifikasi kepadaku, Bunga malah nanya sama supir, yang sama sekali tidak terlibat dalam komunikasi kami. 

  3. Bunga meneruskan informasi tadi kepada pegawai bagian umum.

  4. Aku tidak memastikan kepada pegawai bagian umum bahwa dia sudah tahu bahwa yang kumaksud adalah RM Padang Simple, dan bukan RM Padang lain. 

  5. Aku tidak memperhatikan dengan benar nasi bungkus yang dibeli, karena biasanya kalo dari RM Padang Simple, di kertas pembungkus ada tertera logo. Aku terdistraksi oleh lapar yang mendera. 

  6. Akibatnya, ada empat orang yang gagal menikmati masakan padang yang super duper nikmat, dan sebagai gantinya mendapatkan masakan padang yang nikmat. (Karena makanan hanya ada dua jenis, yaitu enak dan enak banget)


Hal serupa sering terjadi dalam kehidupan kita. 


Kita sering tidak mendengarkan atau membaca suatu informasi yang kita terima dengan lengkap. Bisa jadi karena enggan, atau malas, atau memang ada gangguan pendengaran atau penglihatan. 


Karena tidak lengkap, kita tidak mengerti informasi yang kita terima. Mungkin kita memiliki pengetahuan yang terbatas tentang perkara yang sedang dibahas. Tapi kita tidak meminta klarifikasi dari sumber informasi pertama tadi. Bisa jadi karena enggan, atau malas, atau memang ada gangguan relasi. 


Lalu kita pun membuat asumsi sendiri. Atau tidak jarang kita bertanya kepada orang lain yang tidak ikut hadir dalam pembicaraan awal, yang tentu saja memberikan input sesuai asumsi nya sendiri. Tidak heran, secara dia juga tidak dengar langsung dari sumber pertama. 


Asumsi atas asumsi, potensi distorsi. Akibatnya, hasil akhir pun bisa meleset jauh dari tujuan awal. 


Komunikasi adalah sebuah keterampilan. Kemampuan untuk menyampaikan apa yang kita inginkan dan kita butuhkan, sehingga orang lain mengerti, dan kebutuhan kita pun terpenuhi.  


Komunikasi adalah proses dua arah. Kedua pihak harus berjalan pada koridor yang sama. Kita tidak bisa memaksa lawan bicara kita mengerti. Namun kita bisa memastikan kita menyampaikan informasi dengan lengkap. Kita bisa memastikan lawan bicara kita mengerti apa yang kita sampaikan dengan cara bertanya. 


Komunikasi bukan sekadar membuka suara. Komunikasi juga perkara kemauan dan kerendahan hati untuk mendengarkan lawan bicara.


No comments:

Post a Comment