Monday, August 24, 2020

Nyalon Perdana di Masa Pandemi Corona

 Sejak kecil aku tidak pernah memanjangkan rambut. Paling maksimal seleher; itu pun sungguh jarang terjadi. Biasanya aku selalu memotong pendek rambutku, kira-kira sebatas garis telinga, atau lebih pendek lagi.

Ketika masih di Bandung, aku tidak sulit menemukan salon atau juru pangkas rambut yang ahli memotong model rambut pendek. Awalnya aku tidak punya salon langganan, dan suka mencoba-coba salon, apalagi kalau lagi ada promo atau voucher discount. Tetapi menjelang akhir masa perkuliahan, ada satu salon yang menjadi favoritku, namanya Sunan Salon. Salon ini letaknya di Jl. Cisitu Lama, tidak jauh dari kost ku selama di Bandung. Bila ada kesempatan ke Bandung, aku berusaha menyempatkan diri untuk melakukan perawatan rambut di sana. 


Ketika pulang ke Medan, ternyata kebutuhan memotong pendek rambut ini tidak gampang dipenuhi. Entah kenapa, potongannya beda aja. Tidak memuaskan seperti di Bandung. Nanggung gitu. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Mas Bowo. 


Waktu itu aku diajak temanku ke salon langganannya, dimana Mas Bowo bekerja sebagai hair stylist. Pertama kali rambutku dipotong oleh Mas Bowo, aku langsung kepincut berat dan tak bisa lagi pindah ke lain hati. Kami memiliki pendapat yang sama, “rambut panjang itu membosankan” hihihi. Sejak saat itu Mas Bowo menjadi hair stylist idolaque. Mas Bowo sempat berpindah salon tiga atau empat kali, dan aku mengikuti kemana dia pindah. 


Dengan Mas Bowo ini, aku sudah mencapai titik kenyamanan, dimana aku bahkan tidak perlu mengatakan lagi model rambut yg aku inginkan. Tinggal duduk dan ‘menunggu nasib’. Sampai pernah sekali waktu, ketika Mas Bowo mulai berkarya, aku mengobrol dengan temanku yang barengan datang ke salon. Aku tidak memperhatikan lagi apa yang dilakukannya dengan rambutku. Lagi pula, aku harus melepas kacamata, sehingga tidak bisa melihat dengan jelas. 


Ketika selesai, ternyata rambutku sudah super duper cepak. Mungkin panjang yang tersisa hanya sekitar 2 atau maksimum 3 cm. Aku sih bahagia-bahagia saja. Cepak artinya praktis dan ringkas, tidak perlu menghabiskan waktu lama untuk bersisir. Dan memang dengan potongan cepak itu aku tidak perlu bersisir hahaha Tetapi Mami ku tidak terlalu sepakat. Memang beliau tidak mengatakan apa-apa ketika melihatku pulang dengan rambut tinggal “seadanya”, tapi Mami langsung mengangsurkan sepasang anting, “Nih pake!”. Yeah… action speaks louder than words hahaha


Terakhir sekali aku memotong rambutku adalah pertengahan bulan Maret yang lalu, di salon yang dekat dengan kantor. Boleh juga hasilnya. Namun semenjak pandemi, beberapa usaha harus tutup sementara, termasuk salon yang dekat kantor tadi. Sungguh perjuangan rasanya mengurus rambut yang menggondrong ini. Aku punya kebiasaan keramas setiap pagi. Maka selama masa pandemi ini, sehari bisa keramas dua sampai tiga kali, karena setiap bepergian keluar rumah, pulangnya pasti mandi dan keramas lagi. Aku juga tidak punya alat pengering rambut. Jadi, ketika rambut memanjang tak berbentuk dan sudah lebih mirip logonya versace, maka urusan pasca keramas menjadi sangat merepotkan. 


Akhirnya hari Minggu kemarin, ku tak tahan lagi. Ketika seorang teman mengajak ke salon langganannya, yang sudah dipastikannya mengikuti protokol kesehatan, aku pun langsung mengiyakan. 


Ternyata salon tersebut tidak terlalu jauh dari tempat kost. Sebelum masuk ke salon, setiap pelanggan wajib mencuci tangan dengan air dan sabun yang sudah disediakan di pintu masuk. Kemudian mereka akan mengukur suhu tubuh kita. O iya, satu lagi, pelanggan wajib menggunakan masker.


Salon itu tidak terlalu besar, ku perkirakan sekitar 50 m2, namun bersih dan teratur. Maksimum hanya bisa melayani lima orang pelanggan. Posisi duduk sedemikian rupa, sehingga tidak ada pelanggan yang duduk bersebelahan. Di bagian tengah, ada dua set kursi-cermin yang saling berhadapan, dan tiga set lagi di letakkan di bagian sisi dinding, dan menghadap ke arah yang berbeda. Mereka menyediakan sepasang kursi di dekat pintu masuk, dan sebuah sofa di bagian dalam, untuk tempat menunggu bila diperlukan. Penyusunan kursi dan sofa ini pun diatur sedemikian rupa sehingga tetap ada jarak minimal satu meter dengan kursi pelanggan. Ruangan tersebut dilengkapi AC, namun mereka membuka pintu bagian belakang salon (area tempat mencuci rambut), untuk memastikan sirkulasi udara. 


Seluruh pekerja di salon itu menggunakan masker. Mereka bekerja dengan cepat, supaya pelanggan tidak terlalu lama berada di dalam salon. Mereka juga tidak banyak mengobrol dengan pelanggan maupun dengan sesama pekerja salon. Dan selama aku di sana, para pelanggan juga tidak banyak bersuara. Suatu hal yang jarang terjadi bukan? Mungkin karena pengaruh menggunakan masker, sehingga tidak nyaman untuk mengobrol. 


Ketika tiba giliranku, aku menunjukkan foto model rambut yang kuinginkan kepada si Aa’ (btw, aku memang lebih pas kalau yang memotong rambutku adalah pria), dan dia langsung bekerja. Tidak sampai satu jam, seluruh proses selesai dan aku sudah memperoleh ‘rambut baru’. Rasanya sungguh melegakan sekali. Selain mereka cepat bekerja untuk melayani pelanggan, mereka juga dengan cepat menyapu sampah guntingan rambut. Pantas saja salon itu tetap terlihat bersih. 


Secara keseluruhan, pengalaman nyalon perdana di masa pandemi ini cukup memuaskan. Memang hidup harus terus berlanjut. Kita harus dengan cepat beradaptasi dengan situasi yang baru ini, baik sebagai pelanggan maupun pemilik usaha. Baik sebagai pelanggan maupun pemilik usaha, kita perlu memastikan bahwa kita tetap menjalankan protokol kesehatan, menjaga kebersihan dan keamanan diri masing-masing. Dengan menjaga diri sendiri berarti kita juga ikut menjaga keamanan sesama. 


Semoga saja setelah pandemi ini usai, kita tetap bisa mempertahankan kebiasaan-kebiasaan baik ini. 


No comments:

Post a Comment